DOKUMEN
"TUHAN MEMBERI AKU PARA SAUDARA "
O R D O S A U D A R A D I N A K O N V E N T U A L
T U H A N M E M B E R I A K U
P A R A S A U D A R A
SURAT MINISTER GENERAL OFMCONV
TAHAP KETIGA 2007-2008
800 TAHUN PENDIRIAN ORDO
1209 – 2009
TUHAN MEMBERI AKU PARA SAUDARA
“Mereka yang datang untuk memilih hidup ini, membagikan kepada kaum miskin harta yang dimilikinya… dan tidak mau menginginkan lagi (Wasiat 16-17, FF117).
SEMOGA TUHAN MEMBERI KAMU DAMAI – Dominus det vobis pacem
1. Para Saudara – yang terkasih, dengan ucapan damai saya memulai surat ini yang membuka tahap ketiga perjalanan menuju Jubileum kedelapan ratus Berdirinya Ordo 1209-2009. Dalam surat-surat edaran sebelumnya kita telah diajak agar sering menyelami rahmat peringatan jubileum ini yang memberi kesempatan untuk meninjau kembali permulaan Ordo kita serta menolong kita untuk menenukan dalam diri kita “sinar yang memberi inspirasi untuk memulai mengikuti (Kristus) yang sebenarnya merupakan sebagai jawaban cinta akan cinta Allah” (CTCCVA – 2002).
Dalam dokumen yang memuat program dengam judul “bersama Fransiskus mengikuti Kristus, kini” tahap ketiga ini digambarkan sebagai mendalami thema yang merupakan ciri khas pengalaman rohani Fransiskus dari Assisi: “persaudaraan injili: tempat dan tanda hidup baru dalam Kristus” dan secara khusus “awal hidup dalam persaudaraan dan perutusan rasuli yang berakar pada Injil” (itinerario per vivere…. 2005).
Dalam kalimat- dan ucapan ini dapat ditonjolkan 2 point yang sangat penting dan merupakan juga sumber pada refleksi kita dalam proses memperingati persaudaraan Ordo pada tahun 2007-08.
1. PERSAUDARAAN INJILI
2. MISSIO KERASULAN
Sebelum kita memulai refleksi ini, saya ingin mengajak memperhatikan dua kata keadaan yang memberi ciri pada persaudaraan dan missio: injili dan rasuli. Dua kata ini menyimpulkan makna akhir mengikuti Kristus yang timbul dari mendengar dan menerima Injil; sikap ini mengadung persatuan antara saudara yang menjadi “rasul”, yaitu diutus untuk memaklumkan Sabda yang sama. Suutu persaudaraan yang asli injili, yaitu dikumpulkan oleh Yesus Kristus untuk hidup menurut Injil dan sekaligus rasuli, yaitu mampu untuk mewartakan.
PERSAUDARAAN INJILI:
Tempat dan tanda hidup baru dalam Kristus.
„Bagi kamu harus lain“
3.Persaudaraan berkembang di sekitar Fransiskus dari pengalaman pribadi perjumpaan dengan Kristus dan pertobatan hidupnya, „sejak ia mulai berbicara di depan orang dengan suatu kekuatan yang menyakinkan, keadaan mulai berobah sampai beberapa dari peserta memutuskan untuk mengikuti teladannnya“ .
Dari kenyataan ini terdapat makna dari persaudaraan fransiskan, suatu relasi yang tidak terletak pada sesuatu yang abstrat, tapi dalam saling berelasi dengan yang lain. Coba lihat apa yang ditulis dalam riwayat pertama mengenai kedatangan saudara pertama.
Dengan kehadiran para saudara muncul kebutuhan untuk mencari sumber mengenai suatu bentuk organisasi dan dari Wasiat dapat dimengerti bahwa „hidup menurut Injil menyusul setelah ada „karunia para saudara“ dengan demikian bersama dengan saudara-saudara pertama, Fransiskus membaca Injil. Fransiskus, mengenai bentuk persaudaraan, tidak berinspirasi pada kehidupan para rasul atau komunitas kristiani pertama di Yesuralem, melainkan langsung pada Yesus Kristus, Putra Allah, bagaimana Yesus hidup dan bertindak di dunia ini. Dengan demikian persaudaraan fransiskan yang pertama mengambil inspirasi pada kehidupan Yesus dan gaya Injili.
„Kemiskinan, kedinaan, hidup kontemplasi dan doa melalui Liturgi atau melalui doa diam, sederhana dan spontan, pekerjaan yang rendah, missio kesaksian dan pewartaan Injil merupakan bagian inti persatuan dan bermakna dari persaudaraan fransiskan.
Kutipan Injil yang ingin kusampaikan untuk refleksi kita merupakan suatu teks yang sangat disukai Fransiskus dan merupakan bagian dari wejangan Bapak Serafik: „terpampan secara mendalam dalam memorinya dan sering muncul pada tulisan-tulisannya sebagai pengalaman asli mengenai persaudaraan: Lukas: 22: 24-27 (dibacakan).
Dalam susunan teks ini diungkapkan 3 sikap yang merupakan bukti persaudaraan injili dari para rasul yang bersatu dengan Kristus dan memberi kepada kita juga kesempatan untuk berefleksi, karena komunitas-komunitas kita pun memiliki sikap yang sama:
a) Perdebatan - ayat 24
b) Relasi yang disehatkan – 25-26
c) Contoh relasi - 27
a) Perdebatan yang menimbulkan konflik antara saudara
Peristiwa ini berlansung pada malam perjamuan akhir, Yesus sudah membagikan roti sebagai tubuhNya dan piala darahNya (Lk : 22 : 14-20), Yesus sudah menyatakan penghianatan Yudas (21-23). Lukas menceriterakan dalam iklim dramatis, para rasul tidak memahami keadaan tragis ini dan, malah berdiskusi „siapa di antara mereka harus dianggap lebih besar“. Peristiwa ini terulang seperti pada Lukas : 9 : 46-48. Yesus telah meramalkan penderitaanNya dan para muridnya membalas keadaan tragis ini dengan perdebatan yang sama: „siapa antara mereka menjadi lebih besar“ (46).
Kata – perdebatan - dalam bahasa yunani adalah berkelai – philoneikia - dan berarti niat untuk menang, keinginan untuk mengalahkan orang lain. Keadaan semacam ini, sampai saat juga ini merupakan awal dari segala perang dan perlawanan. Mau meninggikan dirinya dan merugikan oranng lain. Semua perbedaan dan perlawanana antara manusia berasal dari sikap ini.
Pada perdebatan – perkelakian – ada motivasinya: „siapa antara mereka lebih besar“. Kata kerja „merasa diri lebih“ dalam habasa yunani berarti: lebih dihormati, yaitu mempunyai kesadaran untuk menonjolkan diri di hadapan orang lain.
Dalam kejadian ini dan di dalam persaudaraan kita sebab-sebab perdebatan, persilisihan adalah untuk menonjol atas orang lain.
b) Relasi yang disehatkan: „bagi kalian jangan begini“.
Pada perdebatan para murid, menyusul kata-kata Yesus. Dia membaca dan menafsir apa yang terjadi antara mereka dan menggunakan suatu perbandingan: „Para raja yang memerintah atas bangsa-bangsa, menyebut dirinya penderma“. Raja dan para penderma dua kategori dalam masyarakat yang mempunyai peranan untuk memerintah dan menciptakan relasi dengan kaum bawahan, menentukan jaraknya dan perbedaan.
Persaudaraan dalam Kitab Suci menjadi selalu tempat relasi yang tidak gampang, karena di situlah muncul yang tidak sama (alter) dan yang berbeda: dari raja kepada budak, kita saudara tapi kedua kedudukan menghapus persamaan dan sikap dekat dalam relasi antar saudara.
Kembali pada kutipan Injil, perdebatan/perkelahian antara para murid menunjukkan terus terang peraran dan permainan kekuasaan yang sering juga nyata dalam komunitas kita: perlombaan, permusuhan, kecemburuan, egoisme dan sikap sebagai pemain utama.
Ajaran Yesus mengalihkan muridnya pada keadaan riil, hubungan persaudaraan: „bagi kamu jangan begini“, karena persaudaraan adalah karunia yang diperoleh dalam menerima Injil dan mengikuti Yesus. Dan bila kita perhatikan arti dari terjamahan harafiah ayat ini, kita menerima, dari logia Yesus, suatu tekanan yang membantu untuk memahami maknanya: „bagi kamu bukan saja tidak boleh demikian, melainkan siapa yang lebih besar antar kalian, hendaknya menjadi lebih kecil dan siapa memerintah sama seperti yang melayani“.
Berarti harus berawal dari keadaan – jangan begini antara kalian – untuk merobahnya, menjadi lain – melainkan siapa besar-kecil dan yang memerintah – hamba.
Sekarang kita perhatikan 4 istilah yang menunjukkan relasi dalam persaudaraan: dua istilah pertama berhubungan dengan peranan pemerintahan dalam persaudaraan ; yang kedua sikap mentaati di dalamnya.
Berhubungan dengan peranan dan sikap kekuasaan yang dimainkan raja dan para penderma, Yesus menawarkan strategi pelayanan, di mana tidak berlaku peranan, kekuasaan, nilai pribadi, tapi pengertian saudara dan menyangkal haknya.
Tidak mudah memahami kekuatan „revolusi“ sikap tak terbatas akan pelayanan karena, rahmat ilahi, merupakan ciri khas para muridNya.
Sumbernya berakar pada Yesus, dalam menyerahkan diri pada manusia yang telah diungkapkan sebelumnya dalam Ekaristi tadi.
b) Contoh-citra relasi: hamba
Yesus mungkapkan ajaranNya dengan perumpamaan tentang raja dan para penderma. Arti ini ada juga pada Injil Yohanes dalam pembasuhan kaki (Yoh : 13 : 12-17). Di sini ada contoh, model bagi muridnya, bagaimana relasi dalam persaudaraan: hamba yang dalam bahasa yunani disebut diakon. Dengan gambar ini kita masuk pada inti misteri Kristus, yang sekaligus ada hamba Bapa dan hamba para saudara.
Penginjil Lukas menyinggung tentang ikon perintah baru yang dinyatakan Yesus waktu pembasuhan kaki para muridNya. Berbeda dengan „dunia –bangsa“ yang merobah relasi antara saudara dengan mencari sukses dan kekuasaan, murid Yesus adalah manusia peka seluruhnya pada penyerahan diri untuk pelayanan yang rendah terhadap para saudara, menganggap diri dan bersikap pada setiap keadaan sebagai hamba orang lain. Ini merupakan juga inti mengenai yang dinyatakan Fransiskus dengan memberi nama kepada persaudaraan ini sebagai „saudara dina“.
„Aku di tengah kalian sebagai orang yang meladeni“, inilah ikon injili untuk memahami/mewujudkan bagaimana relasi saudara dalam komunitas: „Kristus-Hamba, Dia yang merendahkan diri... menjadi taat“ (Fil : 2 :6-11). Dalam ikon hamba ada dua dimensi yang mutlak dan tak dapat dipisahkan dari persaudaraan: kemiskinan dan ketaatan, yang berkaitan dengan Penjelmaan Sabda Ilahi, karena „dia mengosonkan diri dan dengan menerima keadaan hamba“ .
HAMBA ALLAH DAN PARA SAUDARA : PETUAH-PETUAH
3. Berkaitan dengan ikon injili tentang hamba, saya ingin menambah lagi kutipan yang lebih menolong kita untuk memahani sifat-sifat ikon ini, yaitu dari Petuah-petuah St. Fransiskus (FF 141-178). Dalam petuah-petuah ini Fransiskus melukiskan aspek yang berbeda dan riil sekali mengenai sifat-sifat saudara dina dan persaudaraan fransiskan. Belum biasa bagi kita membaca k-28 petuah sebagaimana diterbitkan dalam Fonti Francescane (FF). Jenis sastra petuah adalah ungkapan dan pepatah sebagai ucapan bijaksana, singkat, sederhana yang telah dikumpulkan dan ditulis kembali oleh para saudara yang telah menerima dari Fransiskus sebagai nasehat dan gaya mendidik juga untuk semua saudara dina. Ada Petuah yang langsung dikutip dari Kitab Suci atau disekitar ajaran Kitab Suci. Petuah boleh disamakan dengan Apophtegmata Patrum yang disebut sebagai penolong praktis untuk mengantar pada pengalaman ilahi di padang gurun. Sedangkan Petuah-petuah sama sebagai penolong praktis yang mengantar pengalaman ilahi dalam hidup persaudaraan.
Bagi Fransiskus, persaudaraan adalah tempat perjumpaan dengan Allah, oleh sebab itu Petuah-petuah merupakan magna charta – UU –hidup persaudaraan yang dibangun secara mendalam pada penghayatan kemiskinan yang tinggi dalam hubungan terus-menerus dengan Kristus.
Fransiskus dengan beberapa petuah menggambarkan ikon ideal manusia kristiani, hamba Allah dan saudara dina.
Benang merah seluruh Petuah adalah kenosis, pengosongan Kristus, menjadi hamba, kemiskinan yang menyelamatkan dan dengan demikian menjadi manusia baru (Gal : 6 : 15). Hanya dengan dimensi ini dapat membuat dasar untuk suatu persaudaraan yang otentik dan injili.
PETUAH KELIMA (FF 153-154)
FF 153-154 (dibacakan)
Teks ini tidak langsung menyangkut persaudaraan, tidak dialamatkan kepada yang pribadi dan pengalaman hidup dan iman, tapi dari teks ini dapat diambil beberapa point renungan: misalnya,hendaknya setiap saudara memandang diri dalam cahaya Kristus dan menghayati perintah baru dengan kebijaksana yang berasal dari salib Kristus.
Dalam teks ini, sebagaimana tadi tentang kutipan Lukas, dapat dicermati, benar-benar, 3 aspek yang mencul dari petuah Fransiskus ini:
a) pandangan tentang manusia – ayat 1-4
b) akar/sumber dari dosa – ayat 5-7
c) kemuliaan manusia – ayat 8
a) pandangan tentang manusia
Petuah ini mulai dengan mengajak untuk memandang dalam cahaya Allah: “perhatikan”, Kita adalah karya dari Allah, dengan demikian memberi makna kepada kehidupan kita: dengan memandang kemanusiaan kita, Fransiskus mengajak untuk membaca kembali bagian pertama Kitab Suci: “diciptakan serupa dengan PutraNya yang terkasih sesuai dengan tubuhNya” dan menambah “serupa dia menurut roh”.
Ini suatu pandangan baru tentang manusia dan ini disarankan Fransiskus dalam petuah ini, suatu dimensi yang menolong kita dalam, terus-menerus, melihat keseharian, tetapi secara positif. Tubuhku, sekarang membuat kembali tubuh Kristus, rohku serupa denganNya. Allah telah memberi martabat yang luhur ini yang dapat menyinari hidup kita dan relasi dengan saudara-saudara. Keadaan mulia ini tetap ada biar aku jatuh dalam dosa dan untuk menunjukkan kebesaran kemanusiaan ini, Fransiskus menggunakan suatu contoh mengenai keharmonisan yang ada dalam penciptaan, di mana semua mengabdi, mengenal dan taat kepada Sang Pencipta. Segala ciptaan tahu apa tujuannya dan apa yang harus dibuat untuk melaksanakan pengabdian ini dengan ketaatan dan sikap penyerahan kepada Sang Pencipta “lebih dari manusia”. Satu-satunya yang diberi akal budi dan kebijaksanaan adalah manusia dan satu-satunya juga yang mampu menolak mendengar suara Tuhan, padahal “menyalibkan dengan menikmati kejahatan dan dosa”. Dalam petuah ini digarisbahwahi tanggung jawab masing-masing.
Ada tiga unsur yang menentukan penolakan manusia dengan tidak memandang dan hidup dalam cahaya Allah: kebiasaan jahat, dosa dan kenikmatan dalam dosa. Dalam tulisan Bapak kita sering ditemukan binom: kebiasaan jahat-dosa, tapi istilah-istilah mempunyai makna yang berbeda: kebiasaan jahat, terulang, kecenderungan jahat, nafsu-cinta pada dirinya, ego yang ada dalam diriku dan sering kita kehilangan kuasa mutlak, sedangkan dosa adalah perbuatan, dan bila sengaja dibuat, menjelekkan ikon Allah, yaitu kita sendiri dan sekaligus merusak relasi kita dengan Tuhan dan para saudara. Kata kerja “nikmati” adalah menikmati secara sebentar mengenai nafsunya dengan mencari suatu kebebasan dan jati diri baru tentang dirinya. Oleh sebab itu, pada tulisan Fransiskus, berarti bayangan atau illusi tidak mau bergantung, membangun dirinya di luar persatuan dengan Allah dan sesame saudara.
Setelah itu Bapak Fransiskus bertanya: “ apa yang menjadi kebangganMu?”
b) akar-akar dosa
apa yang menjadi dorangan dan dinamika tentang dirinya sendiri dan otomatis tentang dosa? Fransiskus mengenal baik dan secara mendalam roh manusia: tanpa cinta Allah dalam diri manusia, tanpa cinta tidak ada sesuatu dalam diri manusia, tidak ada karunia-karunia yang luhur (1Kor 13,1...). Kemudian Bapak Fransiskus menyebut beberapa segi kesanggupan: akal budi, ketajaman intelektual (esse subtilis); kebijaksanaan sebagai pengalaman hidup; ilmu dengan beraneka pengentahuan. Fransiskus menambah lagi karunia rohani: menafsir bahasa, menyelami hal rohani, yaitu theologi dan pengetahuan misteri iman. Atas semua ini manusia tidak boleh membanggakan diri. Demikian mengenai keindahan, kekayaan dan semua kesanggupan luar biasa, seperti membuat hal-hal luhur, misalnya, mengusir setan. Semua ini menjadi halangan dan bukan milikmu.
Dengan tajam Bapak Fransiskus menyentuh akar-akan dosa: yaitu tidak melihat dirinya sebagai karunia Tuhan dan dengan demikian merampas karunia-karunia yang telah diterima dari Allah.
c) Kemuliaan manusia
Akhirnya sudah sampai memberi jawaban atas pertanyaan yang di atas: „apakah kita dapat membanggakan diri atas penderitaan kita?“
Satu-satunya kesadaran manusia adalah melihat dirinya sebagai ciptaan terbatas, lemah, bukan abadi, bergantung pada Sang Pencipta: bila kita bangga atas semua ini berarti kita menyadari kemiskinan kita dan oleh sebab itu bersysukur atas semua yang diberi Allah dan terbuka terhadap karunia saudara—saudara, perwujudan nyata kehadiran Allah. Dasar, kemudian, dari kemuliaan harus ditemukan dalam mengikuti secara injili Kristus tersalib, yaitu „membawa setiap hari salib suci Tuhan kita Yesus Kristus“.
PERSAUDARAAN INJILI
4. Sekarang kita bandingkan buah refleksi dari Injil dan dari Petuah,, yaitu kita temukan suatu gambaran mengenai persaudaraan injili mulai dari sikap-sikap kita secara umum nyata bukan saja pribadi kita (ad intra), tetapi juga ciri-ciri kita sebagai pewarta Injil dalam mission (extra).
a) Dari Injil sudah dilihat perdebatan antara para murid selama perjamuan ekaristi bersama dengan Yesus, konflik muncul untuk menentukan siapa lebih besar. Perdebatan ini tidak mempehatikan apa yang sedang terjadi saat itu: karunia ekaristi Yesus. Sebab-sebab mereka adalah untuk melibihi yang lain, karena tidak memeliki pandangan tentang Allah yang benar dan mengenai suadara. Teks Petuah menyinari bagaimanakah pandangan manusia yang mentaati relasi persaudaran? Tanda dan bukti kongkrit mana kita harus memandang saudara sebagai karunia – donum – karena ikon/gambar Kristus? Bukan suatu pertanyaan yang kosong, tak punya jejak dalam hidup, tetapi merupakan sikap untuk memahami inti dalam kehidupan bersama. Kita tidak akan sanggup menerima saudara di luar cahaya Allah, kalau tidak setiap kata, pandangan, sikap tidak dimengerti sebelum kita ungkapkan. Kita, mungkin, sulit di dalam persaudaraan berdialog dan menemukan yang lain sebagai saudara karena tidak kita mempunyai wajah murni/bersih terhadapnya. Bapak Fransiskus berbisik bahwa alasan atas kesulitan ini berkomunikasi terletak pada kepercayaan bahwa kita lebih baik dari yang lain, dalam kesadaran bahwa kita memiliki karunia lebih dan menggunakan kesadaran ini untuk menganggap diri lebih besar dari pada yang lain dan secara khusus menganggap diri sebagai korban ketidakadilan bila karunia ini tidak diakui dan dihargai.
Istilah-istilah yng dipakai dalam Petuah kelima bermaksud kita mau menonjolkan kecenderungan kita yang jahat dan sekaligus di bawah pengaruh ini tidak bisa berdialog dengan para saudara dan sekaligus tidak dapat dimiliki pandangan positif tentang manusia dan saudara yang ada di depan kita.
Dengan mengurung dirinya dan tidak melepas diri dari ketergantungan dan otonom inilah buah dari kemauan untuk berkuasa.
b) Petuah itu menunjuk suatu proses kesadaran yang membawa kita menyelami akar-akar dosa, yaitu menemukan diri dan kesadaran bahwa kita adalah ciptaan lemah, tertarik pada kejahatan, bila tidak membiarkan masuk Kasih Allah yang ada dalam hati kita dengan perantaraan Roh Kudus yang telah diberikan (Rom : 5 : 5).
Kasih ini memberi kesempatan untuk mengenal keterbatasan kita dan kegembiraan atas karunia para saudara sebagai rahmat lebih besar dari kesanggupan kita: yaitu kita berakal dan bijaksana... memiliki semua ilmu ... menafsir semua bahasa, secara mendalam menyelami hal-hal surgawi dan lebih kaya dari semua, bila, juga, sanggup membuat hah-hal luar biasa, seperti mengusir setan..“
Terdapat suatu daftar yang menyebut sebab-sebab kita, termasuk yang samar-sama berbentuk rohani, daftar ini menyatakan terus terang keinginan kita yang tersembunyi agar dapat diterima dalam persaudaraan, „raja dan para penderma“ untuk semua.
c) „Aku di tengah kalian sebagai hamba“ – kata-kata Yesus ini menunjuk suatu proses kongkrit tentang pertobatan pribadi dan bersama. Fransiskus membisik pada kita ciri-ciri „pelayanan Yesus“, yaitu „membawa setiap hari salib suci“. Tetapi „salib bukan berkaitan dengan ketidakadilan yang diterima dari yang lain, tetapi „salib“ adalah mengikuti Yesus, Injil, Ekaristi, penyerahan diri, tunduk dan mendengar saudara, membagi perasaan, kemiskinan, missio. Pelayanan ini adalah menjadi serupa dengan Kristus miskin dan tersalib, hamba yang tunduk pada kaki setiap orang. Persaudaraan injili mempunyai perutusan di depan dunia, tentang kesaksian’ menjadi ikon Kristus miskin dan taat.
Kutipan Injil dan perbandingan dengan Petuah kelima mengantar kita untuk menemukan ciri khas bagaimana persaudaraan injili dengan membalikkan nilai-nilai yang dimiliki „dunia“, dan, seandainya kita jujur, kita harus mengakui bahwa nilai-nilai „dunia“ ini sering berada dalam diri kita dan sering dirangsang olehnya dalam beraneka keadaan kehidupan kita.
Hendaknya kita tetap ingat bahwa bagi Fransiskus persaudaraan bukan hasil dari usaha askesis atau perjuangan terhadap godaan yang muncul dalam diri kita yang paling mendalam.
Bagi Bapak Serafik persaudaraan bersumber pada Kebapaan ilahi yang diwahyukan oleh Yesus Kristus, PutraNya. Pada awal pengalaman ada penerangan dasar yang mengijinkan membaca semua secara baru: kemurahan yang gratis kasih Allah. Dengan pengalaman ini terjadi sesuatu yang baru, makna yang baru dan motivasi baru: Fransiskus adalah manusia saudara karena bisa menyelami segalanya menjadi baru dan berasal dari satu sumber, kasih Bapa, „Mahatinggi, mahakuasa dan Tuhan yang baik“.
Persaudaraan injili adalah karunia kasih Bapa dalam Kristus Yesus, yang dihayati berkat kehadiran Roh Kudus, „karya yang kudus“.
Dengan demikian kita bukan dibebaskan dari tanggungjawab; Injil dan Petuah-petuah telah menyatakan trus terang arah dan keterlibatan pribadi dan bersama untuk memperoleh karya ilahi ini.
Sekarang saya mau membicarakan mengenai beberapa sifat agar nyata persaudaraan injili :
- Menjadi saudara bukan suatu pilihan pribadi, seperti memilih teman, bukan suatu pengangkatan tetapi suatu sambutan, menerima dan untuk itu perlu kesadaran ”siapa dia“ dan bagaimana diwujudkan sambutan sebagai saudara. Berarti bukan berasal dari kemauanku, bukan hasil tanganku atau kreativitas akal budiku. Menerima sebagai saudara tetap berdimensi karunia yang mendahului aku, dinimaka sebuah panggilan yang terus mengajak secara pribadi. Ingatlah „Tuhan memberi aku para saudara“, ciri khas Ordo: persaudaraan yang diberikan.
- Setelah masuk dalam persaudaraan ada sikap saling memberi (Kitab Suci tidak mempunyai pandangan ideal mengenai persaudaraan, melainkan riil), persaudaraan itu bersifat lemah, mudah dihancurkan karena dalam persaudaraan itu ada elemen dari kepribadian masing-masing serta perbedaan. Oleh sebab itu persaudaraan dipandang sebagai tempat di mana sering dimungkinkan permunculan konflik atau kesulitan.
- Salah satu ciri persaudaraan adalah rasa milik: ada yang merasa kan „dalam“ dan „luar“; yang merasa „dalam“ persaudaraan menciptakan keintiman, rasa milik, relasi yang mendalam yang sangat dibutuhkan demi kematangan pribadi dan cinta kasih bukan abstrak dan di luar dari kenyataan, tetapi menjadi riil dan berkaitan dengan prirbadi-pribadi, persaudaraan akhirnya adalah tempat di mana cinta nyata dalam kata, pandangan, sambutan dan kemurahan.
Sambutan, saling menerima, rasa milik, jati diri merupakan 4 istilah yang mengililingi kehidupan persaudaraan injili serta menolak segala sikap bersifat kekuasaan, keangkuhan, sebaliknya ada sikap injili berupa sifat anak kecil, hamba/diakon dan ketaatan, kemiskinan. Dalam persaaudaraan injili diciptakan iklim untuk menghayati hubungan,membuat evaluasi atas sikap dan keinginan, melaksanakan tugas, dan berkembang sehat. Bila ada pengalaman cinta Allah dan sesama, tumbullah secara kongkrit perbuatan baik, dan terdapat pintu untuk saling mentaati, sebagaimana dikatakan para Bapa Gereja: „Saya lihat dalam setiap Kitab Suci bahwa kehendak Allah untuk setiap orang yang merendahkan diri pada sesama, menyangkal kehendak sendiri, memohon bantuan ilahi dan memelihara matanya dari kelupaan“. Ini tidad gampang dilaksanakan, tetapi apa yang telah kukatakan benar. Bila dalam doa Bapa Kami berdoa agar terjadilah kehendak Allah, kita memohon pertama-tama pengalaman cinta, kemurahan Bapa terhadap kita, mengalami cinta keselamatan bagi setiap orang yang terwujud dalam rahmat persaudaraan benar. Kalau tidak ada yang diatas, tak dapat hidup dalam kegembiraan, tak dapat dilaksanakan perintah dengan gembira dan menikmati kerajaan Allah. Dasar adalah kepercayaan yang kita harus tunjuk satu sama yang lain. Dengan demikian kita bebas dan tanggungjawab.
Menjadi besar menuntut, untuk mengikuti Yesus Kristus, pengabdian. Mengabdi berarti melaksanakan „kehendak kemurahan“ Bapa terhadap manusia yang dalam diri Yesus terwujud secara sempurna. Melaksanakan kehendak kemurahan berarti memunculkan dalam setiap situasi kasih Allah terhadap manusia yang berakar pada martabatnya dan kebebasannya.
Mewujudkan kebesaran yang mampu membebaskan martabat manusia dengan mewujudkan bahwa mereka adalah bukan saja obyek kasih, tetapi mampu mencintai. Mengabdi membawa kebebasan martabat manusia dan menyinari kehadiran ilahi. Bila tidak sampai untuk mewujudkan ini berarti mengabdi bersifat manusiawi, kemurahan afektif dan keinginan egoisme.
Sering kita terarah untuk menyepele refleksi atau sesuatu yang abstrak, lepas dari kehidupan dan berani bertindak sampai melupakan tugas injili kita.
Peringatan Yubileum ini menjadi kesempatan rahmat untuk memulihkan kembali dalam hidup sehari tanggung jawab akan suatu hidup yang otentik dan mempertobatkan segala sikap lahir batin kepribadian kita.
Bukan berhak memiliki suatu persaudaraan injili, tapi berkewajibab memohon rahmat untuk berbuat apa saja yang bergantung pada masing-masing agar persaudaraan menjadi tempat dan tanda pembaharuan dalam Kristus.
MISSIO –PERUTUSAN RASULI HARUS DIBANGUN PADA INJIL
5. Dalam Kapitel general yang kita baru rayakan, tahun ini, telah digarisbawahi istilah „Pendidikan untuk Missio“ adalah prioritas utama bagi Ordo dalam enam tahun yang akan datang (2013) – waktu ini dirahmati oleh kemurahan Tuhan dan diberi kepada kita. Prioritas ini kuingin ungkapkan dalam surat ini sebagai pendamping selama tahap ketiga menuju Yubileum ke 800 tahun.
Refleksi yang kusampaikan dalam bagian pertama surat ini, telah membuat dasar mengenai pendidikan pada missio, tanpa dasar ini sia-sia kesaksian terhadap missio. „Kita sadar bahwa perutusan missio berakar pada Tritunggal, bersumber pad satu-satunya perutusan, yakni perutusan Kristus, Putra Allah, yang telah diutus oleh Bapa.
Sejak dahulu, pendekatan fransiskan dalam karya missi memahami budaya setempat dan keadaan hidup, khususnya melalui pewartaan, kesaksian hidup persaudaraan dan lebih-lebih dengan kedinaan dan pengabdian terhadap Gereja setempat dan Ordo.
Godaaan/risiko yang sering kita hadapi bila istilah Missio sering dikaitkan dengan yang diperbuat atau secara khusus, misalnnya pewartaan se-olah-olah segalanya berakhir dalam kwantitas yang dibuat atau dalam jumlah pertobatan. Bagi Fransiskus bukan demikian, yang penting bukan kegiatan para saudara atau pelayanan yang dibuat, tetapi mutu kehidupan. Dalam ADB, 3.10 dalam bekergian di dunia: „ janganlah mereka bersilisih, bertengkar mulut dan menghakimi orang lain, tetapi hendaklah mereka itu murah hati, sopan santun, suka damai dan tidak berlagak, lembut dan rendah hati...“.
Nasehat ini disempurnakan dengan bagian ADNB XVI, 5-7 (dibacakan)
Di petuah ini digariskan sifat-sifat saudara dina dalam missio: manusia yang menjadi saudara dan bersikap universal, murah hati yang tidak memaksa, siap untuk meladeni, pembangan damai. Ciri-ciri ini disempurnakan lagi dengan pembawaan- gaya rohani yang akan dimiliki bila pergi ke dunia: yang pertama bertingkah laku sesuai dengan penghayatan kata bahagia injili, yang kedua pewartaan terbuka Injili apabila berkenan pada Tuhan.
Dari anjuran Bapak Serafik, jelaslah bahwa kehidupan sendiri para misionaris menjadi Sabda yang hidup Kerajaan. Tak perlu mewartakan bahwa Kerajaan Allah ada di tengah kita, tetapi kehadiran para saudara menjadi tanda bahwa Kerajaan Allah ada di tengah kita dan persaudaraan injili pun tanda riil dan berwibawa yang diteguhkan melalui kesaksian. Maka apa makna Missio bagi Fransiskus dan semua saudara dina? Membuka hati manusia kepada rahmat Allah, kepada Roh Tuhan; menolak segala kuasa manusiawi, mewartakan Penjelmaan Allah yang mau mendampingi setiap orang yang terluka karena penderitaan. Missio para saudara, intinya, adalah mewartakan misteri Allah, cintakasihNya yang mahakuasa dan apa saja dari pengalaman ini akan timbul dalam hidup orang yang menerima: mendengar dan menyimpan Sabda, menyesuaikan diri pada Injil, kesetiaan yang terus; pewartaaan yang khususnya dilaksanakan melalui kehidupan, yang disertai dengan pewartaan lisan. Inilah intinya, jantungnya, kemudian sarana dan prasarana serta kegiatan untuk mengabdi pada pewartaan Injil.
Gambaran missio ini oleh Fransiskus terletak pada penghormatan da martabat manusia, budaya, tradisi, oleh sebab itu kita didorong untuk menemukan usaha yang baru sesuai dengan kebutuhan jamannya. Kita juga tidak boleh melupakan apa yang telah disimpulkan dalam Kongres Internasional Missio di India, januari 2006, yaitu bagaimana membaca sejarah sekarang ini: „dunia ini sekarang ditandai dengan ciri sekularisme, sikap acuh dan globalisasi. Keadaan in menimbulkan krisis pada nilai manusiawi, keagamaan, sosial dan budaya; menciptakan keadaan buruk dalam ekonomi, menambah kemiskinan, ketidakadilan, menyingkirkan banyak manusia dari nikmatan atas kekayaan, menambah arus imigrasi menuju Barat dan kota-kota besar. Keadaan ini menimbulkan proses internasionalisasi dan multi budaya dan sering tidak difasilitasi dengan dialog antara budaya. Situasi semacam ini menuntut suatu jawaban dari Gereja, dari hidup bakti; dari Ordo kita pun diminta suatu perobahan dalam melaksanakan Missio tersebut“.
Oleh sebab itu perlu perwujudan mengenai sikap yang kongkrit dan bertahan, menentukan prioritas agar dapat dilaksanakan pendidikan terhadap Missio secara pribadi dan secara persaudaraan serafik.
Perlu diingatkan beberapa aspek yang mendasar untuk memperoleh pendidikan lebih bermutu:
- Menciptakan keharmonisan hidup doa dan kerasulan, karena sumber missio adalah dalam perjumpaan yang berlanjut pada setiap hari dengan Tuhan;
- Menghayati semangat missio sebagai bukti persaudaraan, memperhatikan persiapan saudara demi memahami jati dirinya dan di mana letaknya dalam hidup persaudaraan;
- Menggunakan dengan baik dan tanggung jawab, secara sehat dan dengan semangat kemiskinan semua alat komunikasi (internet dan lain-lain)
- Mempersiapkan diri demi suatu kepedulian terhadap missio di mana nyata dan jelas gaya hidup fransiskan, sesuai dengan spiritualitas, tradisi dan budaya fransiskan;
- Liturgi. Ibadat harian, perayaan ekaristi, lectio divina, doa pribadi, kontemplasi: semua ini merupakan juga inti dari kehidupan injili: hubungan dengan Bapa yang mahaluhur, mahakuasa dan Tuhan kita. Menghayti dengan semangat dan tulus hidup fransiskan ini adalah missio. Oleh sebab itu, setiap persaudaraan mempelajari agar liturgi diikuti oleeh semua serta menentukan waktu dan tempat tertentu untuk berdoa sebagai pewartaan kenabian yang sejati dan Injili melalui tanda suatu komunitas yang bersatu dengan Tuhan.
- Keadilan, Perdamaian, Pelestarian cosmos, Ekumenisme dan dialog antar agama. Memperkenalkan nilai-nilai ini dengan kehidapan kita sebagai ungkapan pengertian, sama seperti Fransiskus, pengertiannya berasal dari renungan pada Injil, dalam renungan terhadap ciptaan, dunia dan sejarah. „Keadilan fransiskan berciri praktis, dihayati sebelum diwartakan. Roh mendorong segala ciptaan di dunia agar masyarakat adil di mana semua mempunyai hak yang sama sebagai anak dari satu Bapa yang sama“.
- Multi dan inter budaya. Menghayati karisma fransiskan berarti, dalam persatuan dengan sejarah dan Gereja, menegahkan budaya khusus di mana Injil menjadi pilihan utama. Sekarang ini Ordo mempunyai multi budaya yang menuntut pembaharuan hidup pada setiap saudara dan dalam relasi intern. Oleh sebab itu penting mengenal sejarah dan spiritualitas fransiskan-konventual sama penting dengan kesetiaan kreatif dalam persaudaraan yang bersumber pada jiwa Ordo. Proses ini membutuhkan waktu sebelum menuai buah yang pertama, tapi ini akan terjadi bila kita tidak terlambat dan tidak menyerahkan kepada orang lain tanggung jawab ini dengan menanggung beban hidup seharian.
PERSAUDARAAN DALAM PELAYANAN MISSIO
6. Hamba adalah citra, model yang diberikan Yesus untuk menghayati perintah baru: „saling mengasihi sebagaimana aku mencintai kalian“. Kita dipanggil untuk mohonkan rahmat agar persaudaraan kita benar-benar injili dan sanggup dalam melaksanakan perutusan evangelisasi. Ini dapat diwujudkan bila kita menjadi manusia yang berdoa dan bersahabat dengan Allah. Kesatuan intim dengan Kristus, mendorong agar setiap saudara dan persaudaraan bertindak dalam karya missio sebagai hamba dan saudara dina.
Hamba yang benar adalah Yesus yang dalam persatuan yang utuh dengan Bapa mengabdi kepada semua agar semua juga masuk dalam persatuanNya.Kenyataan ini hendaknya berlaku untuk kita pun, murid-muridnya, hamba. Inilah kebanggaan kita dan tidak menginginkan gelar/kebanggan lain.
Tuntutan ialah belajar untuk memiliki suatu gaya ilahi dalam mengabdi, merelakan panggilan kita demi manusia. Rasul Paulus berkata: „kami abdi semua dalam kasih Kristus“ (2Kor : 4 : 5) dan perlu kerjasama untuk memperoleh kegembiraan.
Persaudaraan dan pengabdian merupakan dua jalur yang mengurung hidup kita sebagai saudara dina „ siapa yang pergi ke daerah missio, harus taat kepada semua manusia demi kasih Tuhan.
Oleh sebab itu
* Persaudaraan sebagai pengabdian dan solidaritas
Solider dengan hasrat yang sama seperti Allah terhadap semua orang dan sekaligus agar kasihNya menjadi sinar pembebasan.
• mengabdi sebagai kesanggupan untuk memelihara keindahan dalam hati.
• mengabdi sebagai memberi pengampunan, kasih. Kita menjadi pengabdi bagi saudara dan pelindung bagi keindahannya.
• mengabdi sebagai kesempatan untuk menjunjung tinggi martabat, kegembiraan kerajaan Allah
• mengabdi sebagai kemenangan atas bayangan, ilusi
• mengabdi sebagai membagi-bagikan harapan
Semua dapat dicapai bila hati kita terbuka pada kebijaksanaan yang datang dari atas.
KESIMPULAN YANG TERBUKA
7. Sebagai kesimpulan atas surat ini, mau menunjuk 3 jalur untuk mewujudkan apa yang telah disampaikan sebagai refleksi supaya isi surat jangan dirasa tak mungkin, tapi riil yang dapat direalisir dalam pengalaman setiap hari.
1. Saya sampaikan beberapa pertanyaan/refleksi yang harus dijawab agar kita daopat memahami motivasi dalam relasi persaudaraan, dalam pengbdian dan dalam semangat misioner.
1.Tanda-tanda mana yang diperlukan agar kita dapat katakan bahwa kita saling mengasihi? 2.. Tanda-tanda mana yang diperlkanu agar persaudaraan kita nyata sebagai persaudaraan injili dan rasuli? 3. Tanda-tanda mana yang diperlukan agar semangat misioner nyata dalam persaudaraan kita dan pada pribadi masing-masing? 4. Tanda-tannda mana yang diperlukan agar kita bermakna di tengah umat dan di tengah komunitas kristiani di mana kita berada.
2. Beberapa kegiatan. Untuk mewujudkan pendidikan masing-masing demi pekekaan misioner di tempat atau ad gentes – di luar – untuk mendirikan Ordo, dibutuhkan kematangan dalam hasil pendidikan agar kehadiran kita lebih efisien dan bermakna sesuai dengan kebutuhan Gereja setempat, hendaknya dipertahankan hubungan dengan Tuhan, Lectio divina sebagai nilai yang mendidik untuk bersikap sebagai „diakon“ sesuai dengan teladan Bapak kita.
3. Suatu tanda nyata agar kita kembali pada semangat awal Ordo dalam tahap ketiga ini henddaknya kita menemukan „apa yang diwahyukan Tuhan kepada Fransiskus dan apa yang dituntut kepada Ordo secara pribadi dan bersama yaitu menjadi saksi yang bermanka, hamba untuk semua, saudara dalam Kristus Yesus: ingatlah apa yang terjadi dalam Kapitel tikar. Sebagai tanda peringatan tahap ketiga ini diserahi naskah Petuah-Petuah.
Aku akhiri surat ini dengan kata-kata Bapak Fransiskus yang diberikan kepada Ordo>
Demi Nama Trinitas Yang Mahaluhur dan keesaan yang kudus, Bapa Putra dan Roh Kudus.
Kepada semua saudara, yang aku hormati dan cintai, kepada para minister, custos, para imam persudaraan kita,dengan rendah hati dalam Kristus, kepada semua saudara sederhana dan taat, pertama dan terakhir. Dengarkan, anak Tuhan dan saudaraku, berilah telingamu kepada kata-kataku. Tunduk dengan hatimu dan taatilah suara Putra Allah. Turutilah dengan segala hatimu semua perintahNya dan laksanakan dengan sempurna nasehatNya. Pujilah Dia karena baik, tinggikanlah Dia dengan perbuatanmu, karena itu kalian diutus ke dunia agar menjadi saksi suaraNya dengan kata dan perbuatan.Katakanlah bahwa tidak ada lain seperti Dia mahakuasa. Tekunlah dalam hidup yang rapi dan dalam ketaatan. Setia pada apa yang telah dijanjikan dengan sikap baik dan tekun.
Roma, 29 november 2007
Pesta semua Orang kudus Ordo Serafik
Vostro fratello
Fr. Marco Tasca
Ministro Generale
(terjemahan Sabato Salvatore)
SUMBER: http://xoomer.virgilio.it/kustodiaindonesia/indo/Documento1.htm
Senin, 24 Mei 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar