Senin, 24 Mei 2010

Hallo om Joy, Ni Pandu. sekarang Pandu dah gede kan?

PERSAUDARAAN SEJATI

Persaudaraan sejati di antara umat manusia tidak selayaknya dikaitkan dengan agama masing2. Setiap manusia memiliki kodrat transenden yang memang sudah dilekatkanNya sesuai dengan citraNya. Setiap manusia memiliki kodrat kemuliaan yang sama,berawal dan berakhir pada titik yang satu dan sama.Semua perbedaan yang kasat mata bagi kita, sepertinya tidaklah tampak demikian dihadapanNya.

Oleh karena itulah segala bentuk perbuatan diskriminatif yang disebabkan oleh perbedaan2 yang kasat mata bagi kita dikatakan tidak sesuai dengan kehendak dan rancanganNya.

Mau tidak mau - suka tidak suka,kalau kita renungkan dan jujur terhadap diri kita sendiri apakah kita sudah sanggup mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sudah bebas dari diskriminasi tsb,baik perbuatan yang kita lakukan maupun yang kita terima? Saya sendiri bisa menjawab bahwa saya belum bebas dari diskriminasi tsb yang berarti saya masih belum mampu hidup sesuai rancanganNya atas perbedaan2 yang ada ini.

Apakah ketidakmampuan ini akan menjadi “masalah”? Ya…..jelas akan menjadi masalah,karena jelas juga bahwa hal ini akan menjadi salah satu batu sandungan bagi kita yang mengarahkan kehidupan ini pada kesempurnaan hidup sebagai kristiani yang dikehendaki oleh Kristus,Tuhan kita.

Tantangan untuk hidup dalam persaudaraan sejati dengan semua orang memang bukan hal mudah,bahkan ini adalah tantangan yang sangat berat untuk diatasi. Jangankan dengan orang2 yang beragama lain, hidup dalam persaudaraan dengan sesama pengikut Kristus yang berbeda gereja/denominasi lain saja sulit untuk kita jalani dengan tulus hati.

Berbicara tentang persaudaraan dengan sesama pengikut Kristus tidak bisa kita lepaskan dari konteks ekumene. Disini kita sebaiknya lebih berhati-hati dalam merenungkan apa yang tersirat dari ekumene tsb dalam arti ajaran dan juga ekumene spiritual - dalam Satu Roh, serta kompetensi dari para pesertanya.

Namun,apapun juga bentuk dan arah ekumene ini, ada hal-hal yang tidak boleh diabaikan oleh umat Katolik awam - seperti saya sendiri – antara lain bahwa hati nurani i.e charity tetaplah dinomorsatukan, sedapat mungkin harus kita hindari segala perkataan yang “menyakitkan” yang pada akhirnya malah menutup pintu persaudaraan ini.

Selain hal2 diatas,jangan diabaikan juga bahwa tugas utama kita - umat Katolik awam – adalah membentuk dan mengarahkan diri kita sendiri kepada kesempurnaan hidup kristiani, melalui pembentukan hati (heart) dengan hati nurani (conscience) sebagai intisarinya, yang pada akhirnya akan menjadi “saksi nyata” atas kebenaran yang ada di dalam GK.

Tanpa pembentukan dan perubahan di dalam diri kita masing2, segala upaya dan diskusi tentang persaudaraan sejati ini hanyalah akan menjadi impian yang melayang-layang saja, ini kalau saya bersandar pada akal.Kalau Kristus Tuhan berkehendak lain,yang tidak masuk akal kita? Mungkin saja terjadi……tidak ada yang tidak mungkin bagiNya. Namun demikian,adalah merupakan suatu kemungkinan juga kalau Dia sedang menunggu kita untuk melakukan perubahan batin kita masing2 dan dalam proses inilah Roh Kudus akan membimbing dan menguatkan kita.
-----
SUMBER: http://www.pondokrenungan.com

PANDANGAN KERUKUNAN (persaudaraan) MENURUT AGAMA-AGAMA

BEBERAPA PANDANGAN TENTANG KERUKUNAN MENURUT AGAMA-AGAMA

a. Pandangan Islam
Dalam mewujudkan kerukunan umat Islam melalui wadah politik temyata sangat sulit dilaksanakan. Untuk itu perlu diupayakan melalui wadah atau metode yang lain. Hal itu ter¬gantung dad kesadaran dan kemauan baik para pemimpin Is¬lam itu sendiri. Tentunya mereka harus bisa memilih-milih an¬tara tujuan dengan alat. Kerukunan dan persatuan umat Islam adalah termasuk tujuan, sebab merupakan bagian dari nilai-nilai dasar ajaran Islam. Sedangkan organisasi, baik orpol maupun ormas, hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut.
Pertama, memilih wadah. sejarah kepartaian di Indonesia menunjukan bahwa melalui bidang politik umat Islam sulit bersatu. Tetapi melalui bidang sosial keagamaan atau non politik, kelompok-kelompok umat Islam boleh dikatakan tidak sulit un¬tuk diajak bekerja sama. Kita ambil beberapa contoh, misalnya saja melalui wadah Majelis Ulama Indonesia (MUI) kita meli¬hat para pemuka Islam dari berbagai ormas Islam dapat duduk bersama dalam satu meja. Dalam upaya untuk membina dan memantapkan kerukun¬an hidup umat beragama kita sangat mengharapkan reran aktif dari pemerintah melalui Departemen Agama dengan segenap aparatnya memberikan bimbingan dan pelayanan kepada masyarakat juga dijiwai oleh semangat untuk merukunkan umat beragama secara menyeluruh. .
Kedua, memilih metode. Telah banyak cara yang dicoba untuk memperkukuh kerukunan hidup antar umat Islam, se¬perti : mengadakan musyawarah, sarasehan, silaturahmi, diskusi, seminar, kerja sama sosial kemasyarakatan dan lain-lain. Kita mengetahui bahwa dalam menyampaikan informasi kepada umat, maka yang menjadi ujung tombak kita adalah para mubaligh/da'i dan dosen/guru agama, karena merekalah yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibentuk semacam forum komunikasi para mubaligh/da'i dan forum komunikasi dosen/guru agama. Mereka dipertemukan untuk bermusyawarah guna untuk menyamakan misi dan visi serta program kerja. Sesuai kondisi saat ini, maka prioritas per¬tama ialah memberikan bimbingan kepada masyarakat melalui khutbah, ceramah, pengajian, kuliah, pelajaran, dan lain-lain; dengan materi tentang pentingnya memperkukuh ukhuwah Islamiah. Khususnya kepada para remaja dan pemuda yang akan menjadi pemimpin di masa depan perlu ditanamkan nilal-nilai tentang ukhuwah Islamiah khususnya, dan alakhlaqul karimah pada umumnya. Para pelajar dan mahasiswa dari berbagal golongan Islam perlu dibiasakan saling bertemu dan bekerjasama, dalam melakukan kegiatan-kegiatan Islam, misalnya bersama-sama menyelenggarakan peringatan hani besar Islam. Kegiatan yang dapat mengerahkan seluruh kekuatan Islam de¬ngan sendirinya akan menampakkan syiar Islam.

b. Pandangan Kristen Protestan
Masalah kerukunan di lingkungan umat Kristen Protestan selama lebih dari dua dasa warsa tidak mengalami permasalahan yang berarti dan menunjukkan semangat keberagamaan yang mengembirakan.
Mengenai nila-nilai kerukunan yang terdapat dalam umat Kristen Protestan yang perlu diingat yaitu terciptanya kesatuan pelayanan bersama yang berpusat pada kasih Kristus. Di depan kita ada kebinekaan masyarakat, pluralisme agama, kemiskinan maupun kekayaan yang dapat menggangu iman dan keperca¬yaan seseorang, adanya banyak krisis isu Kristenisasi dan isu-isu Peta Kerukunan Propinsi jawa Tengah yang lain yang menyibukkan kita sepanjang masa. Begitu ba¬nyak masalah yang dihadapi oleh masyarakat Jawa Tengah pada khususnya, akan tetapi Tuhan menempatkan umat-Nya dalam rangka rencana menyelamatkannya. Kita sadar bahwa banyak masalah-masalah yang dihadapi, namun kita harus bersyukur bahwa sudah banyak masalah yang dapat diselesaikan walau¬pun hasilnya belum memuaskan. Karena situasi umum masya¬rakat kita komplek dan menantang, begitu juga situasi kekristenan yang memprihatinkan karena berkaitan dengan per¬tumbuhan baik yang bersifat kuantitas maupun kualitas yang semu. Oleh karena itu perlu lebih kritis dalam menilai pertum¬buhan yang bersifat ke dalam, artinya berkaitan dengan gereja-gereja, agar jangan terlalu gegabah untuk mengatakan sudah banyak yang kita perbuat dalam kesatuan pelayanan. Di samping itu kita dituntut bersama atas misi yang sama terhadap pelayanan bagi masyarakat untuk menjadi berkat bagi sentiap orang. Kesatuan pelayanan itu didasarkan atas ketaatan dan kesetiaan kepada misi yang dipercayakan sebagai umat yang satu dan yang menerima tugas yang satu, dari Kristus untuk dunia.

c. Pandangan Kristen Katolik
Pertama, Pembebasan Menuju Persaudaraan Sejati. Masa depan bangsa ada di tangan kita juga. Kalau kita berkutat hanya memikirkan luka-luka bathin, kita akan menetap dalam status quo identitas kelompok. Dalam konteks Indonesia dewasa ini kalau kelompok-ke¬lompok masyarakat mampu membebaskan diri dari kepentingan kelompok dan berorientasi ke kesejahteraan umum (bonum commune), proses membangun Indonesia menuju persaudaraan sejati terjadi. Dalam orientasi itu diandaikan mampu melihat nilai-nilai luhur yang ingiri diraih. Mungkin tidak disadari oleh kelompok, tetapi dalam proses akan ditemukan, bahwa yang digali adalah penghormatan terhadap martabat manusia seba¬gai pribadi. Dasar kemanusiaan ini akan mengembangkan se¬mangat solidaritas. Selanjutnya kalau makin berkembang akan memiliki sikap mengutamakan keberpihakan pada yang lemah. Nilai-nilai universal itulah yang hendaknya disasar dalam mem¬bangun persaudaraan sejati. Kedua, Dialog Hidup Menuju Dialog Karya dan Shar¬ing Iman. Apa arti dialog? Dialog bukan hanya berdiskusi, tetapi juga meliputi semua hubungan antar umat beragama yang positif dan konstruktif dengan pribadi pribadi dan jemaat-jemaat dari agama lain, yang diarahkan untuk saling memahami dan saling memperkaya pengetahuan.
Dalam mencapai kebenaran manusia menyadari baik batas-batasnya maupun kemampuan-kemampuannya un¬tuk mengatasinya. Orang yang tidak memiliki kebenaran secara sempurna dan utuh, tetapi dapat bersama orang-orang lain me¬nuju kebenaran tadi. Peneguhan timbal balik, saling mengoreksi dan hubungan persahabatan akan membawa rekan dialog men¬jadi makin matang, yang pada akhimya akan menghasilkan persatuan antara pribadi. Dialog kehidupan mencakup perha¬tian, penghormatan dan sikap ramah kepada orang lain mengenal, identitas pribadinya, caranya mengungkapkan, nilai-nilai miliknya. Dialog karya merupakan penemuan titik temu karya bersama dan kerjasama dengan orang lain, lintas iman/agama/kepercayaan untuk tujuan yang ditentukan bersama. Dialog sharing iman dimaksud agar saling membagi pengalaman iman mengenal pihak lain, menge¬nai do'a, ungkapan ibadatnya dan lain-lain. Akhir-akhir ini muncul di kalangan kaum muda lintas iman untuk hadir dalam upacara keagamaan, yang cukup diterima umat. Untuk dialog sharing iman ini diandalkan para peserta sudah maju tarap berfikimya, karena mereka itu sudah yakin akan kebenaran agamanya sendiri, tetapi ingin diperkaya pengalaman bersama umat yang berbeda imannya.

d. Pandangan Hindu
Dalam upaya membina dan meningkatkan kerukunan umat agar senantiasa melaksanakan atau mewujudkan dharma dalam bentuk karma sesuai dengan swadharma masing-masing dan senantiasa memahami dan mengaplikasikan ajaran Tri Rita Karana dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya di hafal ataupun diucapkan saja. Dengan pemahaman swadharma, akan terhindar dari pola pikir meremehkan orang lain, merendahkan orang lain, ataupun agama orang lain, karena derajat manusia sesama ciptaan Tuhan adalah sama. Orang akan bekerja sesuai dengan profesi, dan menghargai profesi orang lain sesuai de¬ngan swadharmanya, karena pada hakikatnya bekerja yang sesuai dengan dharma adalah merupakan pengabdian kepada Tuhan. Dengan demikian akan tercipta rasa kedamaian dan keadilan sebagai atas penunjang terciptanya kerjasama dan akhirya menciptakan kerukunan sebagaimana yang diharapkan.

e. Pandangan Budha
Nilai-nilai kerukunan yang terdapat dalam agama Budha yaitu tercermin bagi umat Budha dalam menjalankan pelajaran 8 jalan utama, yaitu Pengertian yang benar dan Pikiran yang benar, yang akan membawa Kebijaksanaan dalam kehidupan¬nya di dunia ini. Selanjutnya dengan Ucapan, Perbuatan dan Mata Pencahariannya yang baik akan membawanya kepada Sila atau Budi Pekertinya yang luhur. Sehingga bila mereka-mereka ini telah dapat menjalankannya, setidak-tidaknya berusaha me¬menuhi lima jalan utamanya terlebih dahulu, yaitu pengertian, pikiran, ucapan, perbuatan, dan mata pencaharian yang baik, berarti bisa menjalankan kehidupan di dunia ini yang lumrah sebagai manusia.
Mengapa Sang Budha mengajarkan Pengertian yang benar sebagai jalan pertama dari delapan jalan utama yang diajarkan. Karena pengertian yang benar dan baik itu. merupakan kunci yang utama dalam kehidupan sosial bermasyarakat di dunia ini. Dalam hubungan berumah tangga, hubungan bertetangga, hu¬bungan dalam pekerjaan dan hubungan apa saja di dalam ber¬masyarakat memerlukan pengertian yang benar dan baik, sehingga hubungan-hubungan itu bisa berjalan dengan baik tanpa ada keributan, atau dengan kata lain tercipta adanya ke¬rukunan. Maka ada istilah yang mengatakan, bila anda merasa hidup ini merasa menderita belajarlah dari agama Budha, nanti anda akan diajarkan sampai mendetail bagaimana cara melepas¬kan penderitaan itu. Umat Budha itu berpandangan bahwa ma¬nusia hidup di dunia ini pada dasarnya mengalami penderita¬an, maka dalam perjalanan hidup ini hindarilah hal-hal yang akan menambah penderitaannya, dengan kunci, yaitu pengertian yang benar.
Salah satu penyebab konflik antar umat beragama adalah disebabkan oleh pemahaman terhadap ajaran agama secara parsial, sehingga pemahamannya tidak menjadi utuh. Pemahaman seperti ini akan melahirkan kelompok masyarakat yang memiliki cara pandang yang sangat sempit, yang sering mengakibatkan kekeliruan yang tidak mereka sadari. Ajaran agama, seharusnya dipahami secara integral sosial menyeluruh sehingga pemahaman¬nya menjadi lurus sosial terhindar dari pemahaman yang ekstrim. Kelompok¬ kelompok sempalan dalam beragama yang umumnya bersikap keras dan kaku, kebanyakan disebabkan oleh pemahaman yang secara parsial, sebagaimana disebutkan diatas.


SUMBER : http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=22&mnorutisi=8

PERSAUDARAAN MENURUT FRANSISKAN

DOKUMEN
"TUHAN MEMBERI AKU PARA SAUDARA "





O R D O S A U D A R A D I N A K O N V E N T U A L


T U H A N M E M B E R I A K U
P A R A S A U D A R A

SURAT MINISTER GENERAL OFMCONV




TAHAP KETIGA 2007-2008



800 TAHUN PENDIRIAN ORDO
1209 – 2009

TUHAN MEMBERI AKU PARA SAUDARA



“Mereka yang datang untuk memilih hidup ini, membagikan kepada kaum miskin harta yang dimilikinya… dan tidak mau menginginkan lagi (Wasiat 16-17, FF117).
SEMOGA TUHAN MEMBERI KAMU DAMAI – Dominus det vobis pacem
1. Para Saudara – yang terkasih, dengan ucapan damai saya memulai surat ini yang membuka tahap ketiga perjalanan menuju Jubileum kedelapan ratus Berdirinya Ordo 1209-2009. Dalam surat-surat edaran sebelumnya kita telah diajak agar sering menyelami rahmat peringatan jubileum ini yang memberi kesempatan untuk meninjau kembali permulaan Ordo kita serta menolong kita untuk menenukan dalam diri kita “sinar yang memberi inspirasi untuk memulai mengikuti (Kristus) yang sebenarnya merupakan sebagai jawaban cinta akan cinta Allah” (CTCCVA – 2002).
Dalam dokumen yang memuat program dengam judul “bersama Fransiskus mengikuti Kristus, kini” tahap ketiga ini digambarkan sebagai mendalami thema yang merupakan ciri khas pengalaman rohani Fransiskus dari Assisi: “persaudaraan injili: tempat dan tanda hidup baru dalam Kristus” dan secara khusus “awal hidup dalam persaudaraan dan perutusan rasuli yang berakar pada Injil” (itinerario per vivere…. 2005).
Dalam kalimat- dan ucapan ini dapat ditonjolkan 2 point yang sangat penting dan merupakan juga sumber pada refleksi kita dalam proses memperingati persaudaraan Ordo pada tahun 2007-08.

1. PERSAUDARAAN INJILI
2. MISSIO KERASULAN

Sebelum kita memulai refleksi ini, saya ingin mengajak memperhatikan dua kata keadaan yang memberi ciri pada persaudaraan dan missio: injili dan rasuli. Dua kata ini menyimpulkan makna akhir mengikuti Kristus yang timbul dari mendengar dan menerima Injil; sikap ini mengadung persatuan antara saudara yang menjadi “rasul”, yaitu diutus untuk memaklumkan Sabda yang sama. Suutu persaudaraan yang asli injili, yaitu dikumpulkan oleh Yesus Kristus untuk hidup menurut Injil dan sekaligus rasuli, yaitu mampu untuk mewartakan.

PERSAUDARAAN INJILI:
Tempat dan tanda hidup baru dalam Kristus.
„Bagi kamu harus lain“
3.Persaudaraan berkembang di sekitar Fransiskus dari pengalaman pribadi perjumpaan dengan Kristus dan pertobatan hidupnya, „sejak ia mulai berbicara di depan orang dengan suatu kekuatan yang menyakinkan, keadaan mulai berobah sampai beberapa dari peserta memutuskan untuk mengikuti teladannnya“ .
Dari kenyataan ini terdapat makna dari persaudaraan fransiskan, suatu relasi yang tidak terletak pada sesuatu yang abstrat, tapi dalam saling berelasi dengan yang lain. Coba lihat apa yang ditulis dalam riwayat pertama mengenai kedatangan saudara pertama.
Dengan kehadiran para saudara muncul kebutuhan untuk mencari sumber mengenai suatu bentuk organisasi dan dari Wasiat dapat dimengerti bahwa „hidup menurut Injil menyusul setelah ada „karunia para saudara“ dengan demikian bersama dengan saudara-saudara pertama, Fransiskus membaca Injil. Fransiskus, mengenai bentuk persaudaraan, tidak berinspirasi pada kehidupan para rasul atau komunitas kristiani pertama di Yesuralem, melainkan langsung pada Yesus Kristus, Putra Allah, bagaimana Yesus hidup dan bertindak di dunia ini. Dengan demikian persaudaraan fransiskan yang pertama mengambil inspirasi pada kehidupan Yesus dan gaya Injili.
„Kemiskinan, kedinaan, hidup kontemplasi dan doa melalui Liturgi atau melalui doa diam, sederhana dan spontan, pekerjaan yang rendah, missio kesaksian dan pewartaan Injil merupakan bagian inti persatuan dan bermakna dari persaudaraan fransiskan.
Kutipan Injil yang ingin kusampaikan untuk refleksi kita merupakan suatu teks yang sangat disukai Fransiskus dan merupakan bagian dari wejangan Bapak Serafik: „terpampan secara mendalam dalam memorinya dan sering muncul pada tulisan-tulisannya sebagai pengalaman asli mengenai persaudaraan: Lukas: 22: 24-27 (dibacakan).
Dalam susunan teks ini diungkapkan 3 sikap yang merupakan bukti persaudaraan injili dari para rasul yang bersatu dengan Kristus dan memberi kepada kita juga kesempatan untuk berefleksi, karena komunitas-komunitas kita pun memiliki sikap yang sama:
a) Perdebatan - ayat 24
b) Relasi yang disehatkan – 25-26
c) Contoh relasi - 27

a) Perdebatan yang menimbulkan konflik antara saudara

Peristiwa ini berlansung pada malam perjamuan akhir, Yesus sudah membagikan roti sebagai tubuhNya dan piala darahNya (Lk : 22 : 14-20), Yesus sudah menyatakan penghianatan Yudas (21-23). Lukas menceriterakan dalam iklim dramatis, para rasul tidak memahami keadaan tragis ini dan, malah berdiskusi „siapa di antara mereka harus dianggap lebih besar“. Peristiwa ini terulang seperti pada Lukas : 9 : 46-48. Yesus telah meramalkan penderitaanNya dan para muridnya membalas keadaan tragis ini dengan perdebatan yang sama: „siapa antara mereka menjadi lebih besar“ (46).
Kata – perdebatan - dalam bahasa yunani adalah berkelai – philoneikia - dan berarti niat untuk menang, keinginan untuk mengalahkan orang lain. Keadaan semacam ini, sampai saat juga ini merupakan awal dari segala perang dan perlawanan. Mau meninggikan dirinya dan merugikan oranng lain. Semua perbedaan dan perlawanana antara manusia berasal dari sikap ini.
Pada perdebatan – perkelakian – ada motivasinya: „siapa antara mereka lebih besar“. Kata kerja „merasa diri lebih“ dalam habasa yunani berarti: lebih dihormati, yaitu mempunyai kesadaran untuk menonjolkan diri di hadapan orang lain.
Dalam kejadian ini dan di dalam persaudaraan kita sebab-sebab perdebatan, persilisihan adalah untuk menonjol atas orang lain.
b) Relasi yang disehatkan: „bagi kalian jangan begini“.
Pada perdebatan para murid, menyusul kata-kata Yesus. Dia membaca dan menafsir apa yang terjadi antara mereka dan menggunakan suatu perbandingan: „Para raja yang memerintah atas bangsa-bangsa, menyebut dirinya penderma“. Raja dan para penderma dua kategori dalam masyarakat yang mempunyai peranan untuk memerintah dan menciptakan relasi dengan kaum bawahan, menentukan jaraknya dan perbedaan.
Persaudaraan dalam Kitab Suci menjadi selalu tempat relasi yang tidak gampang, karena di situlah muncul yang tidak sama (alter) dan yang berbeda: dari raja kepada budak, kita saudara tapi kedua kedudukan menghapus persamaan dan sikap dekat dalam relasi antar saudara.
Kembali pada kutipan Injil, perdebatan/perkelahian antara para murid menunjukkan terus terang peraran dan permainan kekuasaan yang sering juga nyata dalam komunitas kita: perlombaan, permusuhan, kecemburuan, egoisme dan sikap sebagai pemain utama.
Ajaran Yesus mengalihkan muridnya pada keadaan riil, hubungan persaudaraan: „bagi kamu jangan begini“, karena persaudaraan adalah karunia yang diperoleh dalam menerima Injil dan mengikuti Yesus. Dan bila kita perhatikan arti dari terjamahan harafiah ayat ini, kita menerima, dari logia Yesus, suatu tekanan yang membantu untuk memahami maknanya: „bagi kamu bukan saja tidak boleh demikian, melainkan siapa yang lebih besar antar kalian, hendaknya menjadi lebih kecil dan siapa memerintah sama seperti yang melayani“.
Berarti harus berawal dari keadaan – jangan begini antara kalian – untuk merobahnya, menjadi lain – melainkan siapa besar-kecil dan yang memerintah – hamba.
Sekarang kita perhatikan 4 istilah yang menunjukkan relasi dalam persaudaraan: dua istilah pertama berhubungan dengan peranan pemerintahan dalam persaudaraan ; yang kedua sikap mentaati di dalamnya.
Berhubungan dengan peranan dan sikap kekuasaan yang dimainkan raja dan para penderma, Yesus menawarkan strategi pelayanan, di mana tidak berlaku peranan, kekuasaan, nilai pribadi, tapi pengertian saudara dan menyangkal haknya.
Tidak mudah memahami kekuatan „revolusi“ sikap tak terbatas akan pelayanan karena, rahmat ilahi, merupakan ciri khas para muridNya.
Sumbernya berakar pada Yesus, dalam menyerahkan diri pada manusia yang telah diungkapkan sebelumnya dalam Ekaristi tadi.
b) Contoh-citra relasi: hamba
Yesus mungkapkan ajaranNya dengan perumpamaan tentang raja dan para penderma. Arti ini ada juga pada Injil Yohanes dalam pembasuhan kaki (Yoh : 13 : 12-17). Di sini ada contoh, model bagi muridnya, bagaimana relasi dalam persaudaraan: hamba yang dalam bahasa yunani disebut diakon. Dengan gambar ini kita masuk pada inti misteri Kristus, yang sekaligus ada hamba Bapa dan hamba para saudara.
Penginjil Lukas menyinggung tentang ikon perintah baru yang dinyatakan Yesus waktu pembasuhan kaki para muridNya. Berbeda dengan „dunia –bangsa“ yang merobah relasi antara saudara dengan mencari sukses dan kekuasaan, murid Yesus adalah manusia peka seluruhnya pada penyerahan diri untuk pelayanan yang rendah terhadap para saudara, menganggap diri dan bersikap pada setiap keadaan sebagai hamba orang lain. Ini merupakan juga inti mengenai yang dinyatakan Fransiskus dengan memberi nama kepada persaudaraan ini sebagai „saudara dina“.
„Aku di tengah kalian sebagai orang yang meladeni“, inilah ikon injili untuk memahami/mewujudkan bagaimana relasi saudara dalam komunitas: „Kristus-Hamba, Dia yang merendahkan diri... menjadi taat“ (Fil : 2 :6-11). Dalam ikon hamba ada dua dimensi yang mutlak dan tak dapat dipisahkan dari persaudaraan: kemiskinan dan ketaatan, yang berkaitan dengan Penjelmaan Sabda Ilahi, karena „dia mengosonkan diri dan dengan menerima keadaan hamba“ .


HAMBA ALLAH DAN PARA SAUDARA : PETUAH-PETUAH

3. Berkaitan dengan ikon injili tentang hamba, saya ingin menambah lagi kutipan yang lebih menolong kita untuk memahani sifat-sifat ikon ini, yaitu dari Petuah-petuah St. Fransiskus (FF 141-178). Dalam petuah-petuah ini Fransiskus melukiskan aspek yang berbeda dan riil sekali mengenai sifat-sifat saudara dina dan persaudaraan fransiskan. Belum biasa bagi kita membaca k-28 petuah sebagaimana diterbitkan dalam Fonti Francescane (FF). Jenis sastra petuah adalah ungkapan dan pepatah sebagai ucapan bijaksana, singkat, sederhana yang telah dikumpulkan dan ditulis kembali oleh para saudara yang telah menerima dari Fransiskus sebagai nasehat dan gaya mendidik juga untuk semua saudara dina. Ada Petuah yang langsung dikutip dari Kitab Suci atau disekitar ajaran Kitab Suci. Petuah boleh disamakan dengan Apophtegmata Patrum yang disebut sebagai penolong praktis untuk mengantar pada pengalaman ilahi di padang gurun. Sedangkan Petuah-petuah sama sebagai penolong praktis yang mengantar pengalaman ilahi dalam hidup persaudaraan.
Bagi Fransiskus, persaudaraan adalah tempat perjumpaan dengan Allah, oleh sebab itu Petuah-petuah merupakan magna charta – UU –hidup persaudaraan yang dibangun secara mendalam pada penghayatan kemiskinan yang tinggi dalam hubungan terus-menerus dengan Kristus.
Fransiskus dengan beberapa petuah menggambarkan ikon ideal manusia kristiani, hamba Allah dan saudara dina.
Benang merah seluruh Petuah adalah kenosis, pengosongan Kristus, menjadi hamba, kemiskinan yang menyelamatkan dan dengan demikian menjadi manusia baru (Gal : 6 : 15). Hanya dengan dimensi ini dapat membuat dasar untuk suatu persaudaraan yang otentik dan injili.

PETUAH KELIMA (FF 153-154)
FF 153-154 (dibacakan)

Teks ini tidak langsung menyangkut persaudaraan, tidak dialamatkan kepada yang pribadi dan pengalaman hidup dan iman, tapi dari teks ini dapat diambil beberapa point renungan: misalnya,hendaknya setiap saudara memandang diri dalam cahaya Kristus dan menghayati perintah baru dengan kebijaksana yang berasal dari salib Kristus.
Dalam teks ini, sebagaimana tadi tentang kutipan Lukas, dapat dicermati, benar-benar, 3 aspek yang mencul dari petuah Fransiskus ini:
a) pandangan tentang manusia – ayat 1-4
b) akar/sumber dari dosa – ayat 5-7
c) kemuliaan manusia – ayat 8

a) pandangan tentang manusia
Petuah ini mulai dengan mengajak untuk memandang dalam cahaya Allah: “perhatikan”, Kita adalah karya dari Allah, dengan demikian memberi makna kepada kehidupan kita: dengan memandang kemanusiaan kita, Fransiskus mengajak untuk membaca kembali bagian pertama Kitab Suci: “diciptakan serupa dengan PutraNya yang terkasih sesuai dengan tubuhNya” dan menambah “serupa dia menurut roh”.
Ini suatu pandangan baru tentang manusia dan ini disarankan Fransiskus dalam petuah ini, suatu dimensi yang menolong kita dalam, terus-menerus, melihat keseharian, tetapi secara positif. Tubuhku, sekarang membuat kembali tubuh Kristus, rohku serupa denganNya. Allah telah memberi martabat yang luhur ini yang dapat menyinari hidup kita dan relasi dengan saudara-saudara. Keadaan mulia ini tetap ada biar aku jatuh dalam dosa dan untuk menunjukkan kebesaran kemanusiaan ini, Fransiskus menggunakan suatu contoh mengenai keharmonisan yang ada dalam penciptaan, di mana semua mengabdi, mengenal dan taat kepada Sang Pencipta. Segala ciptaan tahu apa tujuannya dan apa yang harus dibuat untuk melaksanakan pengabdian ini dengan ketaatan dan sikap penyerahan kepada Sang Pencipta “lebih dari manusia”. Satu-satunya yang diberi akal budi dan kebijaksanaan adalah manusia dan satu-satunya juga yang mampu menolak mendengar suara Tuhan, padahal “menyalibkan dengan menikmati kejahatan dan dosa”. Dalam petuah ini digarisbahwahi tanggung jawab masing-masing.
Ada tiga unsur yang menentukan penolakan manusia dengan tidak memandang dan hidup dalam cahaya Allah: kebiasaan jahat, dosa dan kenikmatan dalam dosa. Dalam tulisan Bapak kita sering ditemukan binom: kebiasaan jahat-dosa, tapi istilah-istilah mempunyai makna yang berbeda: kebiasaan jahat, terulang, kecenderungan jahat, nafsu-cinta pada dirinya, ego yang ada dalam diriku dan sering kita kehilangan kuasa mutlak, sedangkan dosa adalah perbuatan, dan bila sengaja dibuat, menjelekkan ikon Allah, yaitu kita sendiri dan sekaligus merusak relasi kita dengan Tuhan dan para saudara. Kata kerja “nikmati” adalah menikmati secara sebentar mengenai nafsunya dengan mencari suatu kebebasan dan jati diri baru tentang dirinya. Oleh sebab itu, pada tulisan Fransiskus, berarti bayangan atau illusi tidak mau bergantung, membangun dirinya di luar persatuan dengan Allah dan sesame saudara.
Setelah itu Bapak Fransiskus bertanya: “ apa yang menjadi kebangganMu?”

b) akar-akar dosa
apa yang menjadi dorangan dan dinamika tentang dirinya sendiri dan otomatis tentang dosa? Fransiskus mengenal baik dan secara mendalam roh manusia: tanpa cinta Allah dalam diri manusia, tanpa cinta tidak ada sesuatu dalam diri manusia, tidak ada karunia-karunia yang luhur (1Kor 13,1...). Kemudian Bapak Fransiskus menyebut beberapa segi kesanggupan: akal budi, ketajaman intelektual (esse subtilis); kebijaksanaan sebagai pengalaman hidup; ilmu dengan beraneka pengentahuan. Fransiskus menambah lagi karunia rohani: menafsir bahasa, menyelami hal rohani, yaitu theologi dan pengetahuan misteri iman. Atas semua ini manusia tidak boleh membanggakan diri. Demikian mengenai keindahan, kekayaan dan semua kesanggupan luar biasa, seperti membuat hal-hal luhur, misalnya, mengusir setan. Semua ini menjadi halangan dan bukan milikmu.
Dengan tajam Bapak Fransiskus menyentuh akar-akan dosa: yaitu tidak melihat dirinya sebagai karunia Tuhan dan dengan demikian merampas karunia-karunia yang telah diterima dari Allah.

c) Kemuliaan manusia
Akhirnya sudah sampai memberi jawaban atas pertanyaan yang di atas: „apakah kita dapat membanggakan diri atas penderitaan kita?“
Satu-satunya kesadaran manusia adalah melihat dirinya sebagai ciptaan terbatas, lemah, bukan abadi, bergantung pada Sang Pencipta: bila kita bangga atas semua ini berarti kita menyadari kemiskinan kita dan oleh sebab itu bersysukur atas semua yang diberi Allah dan terbuka terhadap karunia saudara—saudara, perwujudan nyata kehadiran Allah. Dasar, kemudian, dari kemuliaan harus ditemukan dalam mengikuti secara injili Kristus tersalib, yaitu „membawa setiap hari salib suci Tuhan kita Yesus Kristus“.

PERSAUDARAAN INJILI

4. Sekarang kita bandingkan buah refleksi dari Injil dan dari Petuah,, yaitu kita temukan suatu gambaran mengenai persaudaraan injili mulai dari sikap-sikap kita secara umum nyata bukan saja pribadi kita (ad intra), tetapi juga ciri-ciri kita sebagai pewarta Injil dalam mission (extra).
a) Dari Injil sudah dilihat perdebatan antara para murid selama perjamuan ekaristi bersama dengan Yesus, konflik muncul untuk menentukan siapa lebih besar. Perdebatan ini tidak mempehatikan apa yang sedang terjadi saat itu: karunia ekaristi Yesus. Sebab-sebab mereka adalah untuk melibihi yang lain, karena tidak memeliki pandangan tentang Allah yang benar dan mengenai suadara. Teks Petuah menyinari bagaimanakah pandangan manusia yang mentaati relasi persaudaran? Tanda dan bukti kongkrit mana kita harus memandang saudara sebagai karunia – donum – karena ikon/gambar Kristus? Bukan suatu pertanyaan yang kosong, tak punya jejak dalam hidup, tetapi merupakan sikap untuk memahami inti dalam kehidupan bersama. Kita tidak akan sanggup menerima saudara di luar cahaya Allah, kalau tidak setiap kata, pandangan, sikap tidak dimengerti sebelum kita ungkapkan. Kita, mungkin, sulit di dalam persaudaraan berdialog dan menemukan yang lain sebagai saudara karena tidak kita mempunyai wajah murni/bersih terhadapnya. Bapak Fransiskus berbisik bahwa alasan atas kesulitan ini berkomunikasi terletak pada kepercayaan bahwa kita lebih baik dari yang lain, dalam kesadaran bahwa kita memiliki karunia lebih dan menggunakan kesadaran ini untuk menganggap diri lebih besar dari pada yang lain dan secara khusus menganggap diri sebagai korban ketidakadilan bila karunia ini tidak diakui dan dihargai.
Istilah-istilah yng dipakai dalam Petuah kelima bermaksud kita mau menonjolkan kecenderungan kita yang jahat dan sekaligus di bawah pengaruh ini tidak bisa berdialog dengan para saudara dan sekaligus tidak dapat dimiliki pandangan positif tentang manusia dan saudara yang ada di depan kita.
Dengan mengurung dirinya dan tidak melepas diri dari ketergantungan dan otonom inilah buah dari kemauan untuk berkuasa.
b) Petuah itu menunjuk suatu proses kesadaran yang membawa kita menyelami akar-akar dosa, yaitu menemukan diri dan kesadaran bahwa kita adalah ciptaan lemah, tertarik pada kejahatan, bila tidak membiarkan masuk Kasih Allah yang ada dalam hati kita dengan perantaraan Roh Kudus yang telah diberikan (Rom : 5 : 5).
Kasih ini memberi kesempatan untuk mengenal keterbatasan kita dan kegembiraan atas karunia para saudara sebagai rahmat lebih besar dari kesanggupan kita: yaitu kita berakal dan bijaksana... memiliki semua ilmu ... menafsir semua bahasa, secara mendalam menyelami hal-hal surgawi dan lebih kaya dari semua, bila, juga, sanggup membuat hah-hal luar biasa, seperti mengusir setan..“
Terdapat suatu daftar yang menyebut sebab-sebab kita, termasuk yang samar-sama berbentuk rohani, daftar ini menyatakan terus terang keinginan kita yang tersembunyi agar dapat diterima dalam persaudaraan, „raja dan para penderma“ untuk semua.

c) „Aku di tengah kalian sebagai hamba“ – kata-kata Yesus ini menunjuk suatu proses kongkrit tentang pertobatan pribadi dan bersama. Fransiskus membisik pada kita ciri-ciri „pelayanan Yesus“, yaitu „membawa setiap hari salib suci“. Tetapi „salib bukan berkaitan dengan ketidakadilan yang diterima dari yang lain, tetapi „salib“ adalah mengikuti Yesus, Injil, Ekaristi, penyerahan diri, tunduk dan mendengar saudara, membagi perasaan, kemiskinan, missio. Pelayanan ini adalah menjadi serupa dengan Kristus miskin dan tersalib, hamba yang tunduk pada kaki setiap orang. Persaudaraan injili mempunyai perutusan di depan dunia, tentang kesaksian’ menjadi ikon Kristus miskin dan taat.
Kutipan Injil dan perbandingan dengan Petuah kelima mengantar kita untuk menemukan ciri khas bagaimana persaudaraan injili dengan membalikkan nilai-nilai yang dimiliki „dunia“, dan, seandainya kita jujur, kita harus mengakui bahwa nilai-nilai „dunia“ ini sering berada dalam diri kita dan sering dirangsang olehnya dalam beraneka keadaan kehidupan kita.
Hendaknya kita tetap ingat bahwa bagi Fransiskus persaudaraan bukan hasil dari usaha askesis atau perjuangan terhadap godaan yang muncul dalam diri kita yang paling mendalam.
Bagi Bapak Serafik persaudaraan bersumber pada Kebapaan ilahi yang diwahyukan oleh Yesus Kristus, PutraNya. Pada awal pengalaman ada penerangan dasar yang mengijinkan membaca semua secara baru: kemurahan yang gratis kasih Allah. Dengan pengalaman ini terjadi sesuatu yang baru, makna yang baru dan motivasi baru: Fransiskus adalah manusia saudara karena bisa menyelami segalanya menjadi baru dan berasal dari satu sumber, kasih Bapa, „Mahatinggi, mahakuasa dan Tuhan yang baik“.
Persaudaraan injili adalah karunia kasih Bapa dalam Kristus Yesus, yang dihayati berkat kehadiran Roh Kudus, „karya yang kudus“.
Dengan demikian kita bukan dibebaskan dari tanggungjawab; Injil dan Petuah-petuah telah menyatakan trus terang arah dan keterlibatan pribadi dan bersama untuk memperoleh karya ilahi ini.
Sekarang saya mau membicarakan mengenai beberapa sifat agar nyata persaudaraan injili :
- Menjadi saudara bukan suatu pilihan pribadi, seperti memilih teman, bukan suatu pengangkatan tetapi suatu sambutan, menerima dan untuk itu perlu kesadaran ”siapa dia“ dan bagaimana diwujudkan sambutan sebagai saudara. Berarti bukan berasal dari kemauanku, bukan hasil tanganku atau kreativitas akal budiku. Menerima sebagai saudara tetap berdimensi karunia yang mendahului aku, dinimaka sebuah panggilan yang terus mengajak secara pribadi. Ingatlah „Tuhan memberi aku para saudara“, ciri khas Ordo: persaudaraan yang diberikan.
- Setelah masuk dalam persaudaraan ada sikap saling memberi (Kitab Suci tidak mempunyai pandangan ideal mengenai persaudaraan, melainkan riil), persaudaraan itu bersifat lemah, mudah dihancurkan karena dalam persaudaraan itu ada elemen dari kepribadian masing-masing serta perbedaan. Oleh sebab itu persaudaraan dipandang sebagai tempat di mana sering dimungkinkan permunculan konflik atau kesulitan.
- Salah satu ciri persaudaraan adalah rasa milik: ada yang merasa kan „dalam“ dan „luar“; yang merasa „dalam“ persaudaraan menciptakan keintiman, rasa milik, relasi yang mendalam yang sangat dibutuhkan demi kematangan pribadi dan cinta kasih bukan abstrak dan di luar dari kenyataan, tetapi menjadi riil dan berkaitan dengan prirbadi-pribadi, persaudaraan akhirnya adalah tempat di mana cinta nyata dalam kata, pandangan, sambutan dan kemurahan.

Sambutan, saling menerima, rasa milik, jati diri merupakan 4 istilah yang mengililingi kehidupan persaudaraan injili serta menolak segala sikap bersifat kekuasaan, keangkuhan, sebaliknya ada sikap injili berupa sifat anak kecil, hamba/diakon dan ketaatan, kemiskinan. Dalam persaaudaraan injili diciptakan iklim untuk menghayati hubungan,membuat evaluasi atas sikap dan keinginan, melaksanakan tugas, dan berkembang sehat. Bila ada pengalaman cinta Allah dan sesama, tumbullah secara kongkrit perbuatan baik, dan terdapat pintu untuk saling mentaati, sebagaimana dikatakan para Bapa Gereja: „Saya lihat dalam setiap Kitab Suci bahwa kehendak Allah untuk setiap orang yang merendahkan diri pada sesama, menyangkal kehendak sendiri, memohon bantuan ilahi dan memelihara matanya dari kelupaan“. Ini tidad gampang dilaksanakan, tetapi apa yang telah kukatakan benar. Bila dalam doa Bapa Kami berdoa agar terjadilah kehendak Allah, kita memohon pertama-tama pengalaman cinta, kemurahan Bapa terhadap kita, mengalami cinta keselamatan bagi setiap orang yang terwujud dalam rahmat persaudaraan benar. Kalau tidak ada yang diatas, tak dapat hidup dalam kegembiraan, tak dapat dilaksanakan perintah dengan gembira dan menikmati kerajaan Allah. Dasar adalah kepercayaan yang kita harus tunjuk satu sama yang lain. Dengan demikian kita bebas dan tanggungjawab.
Menjadi besar menuntut, untuk mengikuti Yesus Kristus, pengabdian. Mengabdi berarti melaksanakan „kehendak kemurahan“ Bapa terhadap manusia yang dalam diri Yesus terwujud secara sempurna. Melaksanakan kehendak kemurahan berarti memunculkan dalam setiap situasi kasih Allah terhadap manusia yang berakar pada martabatnya dan kebebasannya.
Mewujudkan kebesaran yang mampu membebaskan martabat manusia dengan mewujudkan bahwa mereka adalah bukan saja obyek kasih, tetapi mampu mencintai. Mengabdi membawa kebebasan martabat manusia dan menyinari kehadiran ilahi. Bila tidak sampai untuk mewujudkan ini berarti mengabdi bersifat manusiawi, kemurahan afektif dan keinginan egoisme.
Sering kita terarah untuk menyepele refleksi atau sesuatu yang abstrak, lepas dari kehidupan dan berani bertindak sampai melupakan tugas injili kita.
Peringatan Yubileum ini menjadi kesempatan rahmat untuk memulihkan kembali dalam hidup sehari tanggung jawab akan suatu hidup yang otentik dan mempertobatkan segala sikap lahir batin kepribadian kita.
Bukan berhak memiliki suatu persaudaraan injili, tapi berkewajibab memohon rahmat untuk berbuat apa saja yang bergantung pada masing-masing agar persaudaraan menjadi tempat dan tanda pembaharuan dalam Kristus.



MISSIO –PERUTUSAN RASULI HARUS DIBANGUN PADA INJIL
5. Dalam Kapitel general yang kita baru rayakan, tahun ini, telah digarisbawahi istilah „Pendidikan untuk Missio“ adalah prioritas utama bagi Ordo dalam enam tahun yang akan datang (2013) – waktu ini dirahmati oleh kemurahan Tuhan dan diberi kepada kita. Prioritas ini kuingin ungkapkan dalam surat ini sebagai pendamping selama tahap ketiga menuju Yubileum ke 800 tahun.
Refleksi yang kusampaikan dalam bagian pertama surat ini, telah membuat dasar mengenai pendidikan pada missio, tanpa dasar ini sia-sia kesaksian terhadap missio. „Kita sadar bahwa perutusan missio berakar pada Tritunggal, bersumber pad satu-satunya perutusan, yakni perutusan Kristus, Putra Allah, yang telah diutus oleh Bapa.
Sejak dahulu, pendekatan fransiskan dalam karya missi memahami budaya setempat dan keadaan hidup, khususnya melalui pewartaan, kesaksian hidup persaudaraan dan lebih-lebih dengan kedinaan dan pengabdian terhadap Gereja setempat dan Ordo.
Godaaan/risiko yang sering kita hadapi bila istilah Missio sering dikaitkan dengan yang diperbuat atau secara khusus, misalnnya pewartaan se-olah-olah segalanya berakhir dalam kwantitas yang dibuat atau dalam jumlah pertobatan. Bagi Fransiskus bukan demikian, yang penting bukan kegiatan para saudara atau pelayanan yang dibuat, tetapi mutu kehidupan. Dalam ADB, 3.10 dalam bekergian di dunia: „ janganlah mereka bersilisih, bertengkar mulut dan menghakimi orang lain, tetapi hendaklah mereka itu murah hati, sopan santun, suka damai dan tidak berlagak, lembut dan rendah hati...“.
Nasehat ini disempurnakan dengan bagian ADNB XVI, 5-7 (dibacakan)
Di petuah ini digariskan sifat-sifat saudara dina dalam missio: manusia yang menjadi saudara dan bersikap universal, murah hati yang tidak memaksa, siap untuk meladeni, pembangan damai. Ciri-ciri ini disempurnakan lagi dengan pembawaan- gaya rohani yang akan dimiliki bila pergi ke dunia: yang pertama bertingkah laku sesuai dengan penghayatan kata bahagia injili, yang kedua pewartaan terbuka Injili apabila berkenan pada Tuhan.
Dari anjuran Bapak Serafik, jelaslah bahwa kehidupan sendiri para misionaris menjadi Sabda yang hidup Kerajaan. Tak perlu mewartakan bahwa Kerajaan Allah ada di tengah kita, tetapi kehadiran para saudara menjadi tanda bahwa Kerajaan Allah ada di tengah kita dan persaudaraan injili pun tanda riil dan berwibawa yang diteguhkan melalui kesaksian. Maka apa makna Missio bagi Fransiskus dan semua saudara dina? Membuka hati manusia kepada rahmat Allah, kepada Roh Tuhan; menolak segala kuasa manusiawi, mewartakan Penjelmaan Allah yang mau mendampingi setiap orang yang terluka karena penderitaan. Missio para saudara, intinya, adalah mewartakan misteri Allah, cintakasihNya yang mahakuasa dan apa saja dari pengalaman ini akan timbul dalam hidup orang yang menerima: mendengar dan menyimpan Sabda, menyesuaikan diri pada Injil, kesetiaan yang terus; pewartaaan yang khususnya dilaksanakan melalui kehidupan, yang disertai dengan pewartaan lisan. Inilah intinya, jantungnya, kemudian sarana dan prasarana serta kegiatan untuk mengabdi pada pewartaan Injil.
Gambaran missio ini oleh Fransiskus terletak pada penghormatan da martabat manusia, budaya, tradisi, oleh sebab itu kita didorong untuk menemukan usaha yang baru sesuai dengan kebutuhan jamannya. Kita juga tidak boleh melupakan apa yang telah disimpulkan dalam Kongres Internasional Missio di India, januari 2006, yaitu bagaimana membaca sejarah sekarang ini: „dunia ini sekarang ditandai dengan ciri sekularisme, sikap acuh dan globalisasi. Keadaan in menimbulkan krisis pada nilai manusiawi, keagamaan, sosial dan budaya; menciptakan keadaan buruk dalam ekonomi, menambah kemiskinan, ketidakadilan, menyingkirkan banyak manusia dari nikmatan atas kekayaan, menambah arus imigrasi menuju Barat dan kota-kota besar. Keadaan ini menimbulkan proses internasionalisasi dan multi budaya dan sering tidak difasilitasi dengan dialog antara budaya. Situasi semacam ini menuntut suatu jawaban dari Gereja, dari hidup bakti; dari Ordo kita pun diminta suatu perobahan dalam melaksanakan Missio tersebut“.
Oleh sebab itu perlu perwujudan mengenai sikap yang kongkrit dan bertahan, menentukan prioritas agar dapat dilaksanakan pendidikan terhadap Missio secara pribadi dan secara persaudaraan serafik.
Perlu diingatkan beberapa aspek yang mendasar untuk memperoleh pendidikan lebih bermutu:
- Menciptakan keharmonisan hidup doa dan kerasulan, karena sumber missio adalah dalam perjumpaan yang berlanjut pada setiap hari dengan Tuhan;
- Menghayati semangat missio sebagai bukti persaudaraan, memperhatikan persiapan saudara demi memahami jati dirinya dan di mana letaknya dalam hidup persaudaraan;
- Menggunakan dengan baik dan tanggung jawab, secara sehat dan dengan semangat kemiskinan semua alat komunikasi (internet dan lain-lain)
- Mempersiapkan diri demi suatu kepedulian terhadap missio di mana nyata dan jelas gaya hidup fransiskan, sesuai dengan spiritualitas, tradisi dan budaya fransiskan;
- Liturgi. Ibadat harian, perayaan ekaristi, lectio divina, doa pribadi, kontemplasi: semua ini merupakan juga inti dari kehidupan injili: hubungan dengan Bapa yang mahaluhur, mahakuasa dan Tuhan kita. Menghayti dengan semangat dan tulus hidup fransiskan ini adalah missio. Oleh sebab itu, setiap persaudaraan mempelajari agar liturgi diikuti oleeh semua serta menentukan waktu dan tempat tertentu untuk berdoa sebagai pewartaan kenabian yang sejati dan Injili melalui tanda suatu komunitas yang bersatu dengan Tuhan.
- Keadilan, Perdamaian, Pelestarian cosmos, Ekumenisme dan dialog antar agama. Memperkenalkan nilai-nilai ini dengan kehidapan kita sebagai ungkapan pengertian, sama seperti Fransiskus, pengertiannya berasal dari renungan pada Injil, dalam renungan terhadap ciptaan, dunia dan sejarah. „Keadilan fransiskan berciri praktis, dihayati sebelum diwartakan. Roh mendorong segala ciptaan di dunia agar masyarakat adil di mana semua mempunyai hak yang sama sebagai anak dari satu Bapa yang sama“.
- Multi dan inter budaya. Menghayati karisma fransiskan berarti, dalam persatuan dengan sejarah dan Gereja, menegahkan budaya khusus di mana Injil menjadi pilihan utama. Sekarang ini Ordo mempunyai multi budaya yang menuntut pembaharuan hidup pada setiap saudara dan dalam relasi intern. Oleh sebab itu penting mengenal sejarah dan spiritualitas fransiskan-konventual sama penting dengan kesetiaan kreatif dalam persaudaraan yang bersumber pada jiwa Ordo. Proses ini membutuhkan waktu sebelum menuai buah yang pertama, tapi ini akan terjadi bila kita tidak terlambat dan tidak menyerahkan kepada orang lain tanggung jawab ini dengan menanggung beban hidup seharian.

PERSAUDARAAN DALAM PELAYANAN MISSIO

6. Hamba adalah citra, model yang diberikan Yesus untuk menghayati perintah baru: „saling mengasihi sebagaimana aku mencintai kalian“. Kita dipanggil untuk mohonkan rahmat agar persaudaraan kita benar-benar injili dan sanggup dalam melaksanakan perutusan evangelisasi. Ini dapat diwujudkan bila kita menjadi manusia yang berdoa dan bersahabat dengan Allah. Kesatuan intim dengan Kristus, mendorong agar setiap saudara dan persaudaraan bertindak dalam karya missio sebagai hamba dan saudara dina.
Hamba yang benar adalah Yesus yang dalam persatuan yang utuh dengan Bapa mengabdi kepada semua agar semua juga masuk dalam persatuanNya.Kenyataan ini hendaknya berlaku untuk kita pun, murid-muridnya, hamba. Inilah kebanggaan kita dan tidak menginginkan gelar/kebanggan lain.
Tuntutan ialah belajar untuk memiliki suatu gaya ilahi dalam mengabdi, merelakan panggilan kita demi manusia. Rasul Paulus berkata: „kami abdi semua dalam kasih Kristus“ (2Kor : 4 : 5) dan perlu kerjasama untuk memperoleh kegembiraan.
Persaudaraan dan pengabdian merupakan dua jalur yang mengurung hidup kita sebagai saudara dina „ siapa yang pergi ke daerah missio, harus taat kepada semua manusia demi kasih Tuhan.
Oleh sebab itu
* Persaudaraan sebagai pengabdian dan solidaritas
Solider dengan hasrat yang sama seperti Allah terhadap semua orang dan sekaligus agar kasihNya menjadi sinar pembebasan.
• mengabdi sebagai kesanggupan untuk memelihara keindahan dalam hati.
• mengabdi sebagai memberi pengampunan, kasih. Kita menjadi pengabdi bagi saudara dan pelindung bagi keindahannya.
• mengabdi sebagai kesempatan untuk menjunjung tinggi martabat, kegembiraan kerajaan Allah
• mengabdi sebagai kemenangan atas bayangan, ilusi
• mengabdi sebagai membagi-bagikan harapan
Semua dapat dicapai bila hati kita terbuka pada kebijaksanaan yang datang dari atas.

KESIMPULAN YANG TERBUKA

7. Sebagai kesimpulan atas surat ini, mau menunjuk 3 jalur untuk mewujudkan apa yang telah disampaikan sebagai refleksi supaya isi surat jangan dirasa tak mungkin, tapi riil yang dapat direalisir dalam pengalaman setiap hari.
1. Saya sampaikan beberapa pertanyaan/refleksi yang harus dijawab agar kita daopat memahami motivasi dalam relasi persaudaraan, dalam pengbdian dan dalam semangat misioner.
1.Tanda-tanda mana yang diperlukan agar kita dapat katakan bahwa kita saling mengasihi? 2.. Tanda-tanda mana yang diperlkanu agar persaudaraan kita nyata sebagai persaudaraan injili dan rasuli? 3. Tanda-tanda mana yang diperlukan agar semangat misioner nyata dalam persaudaraan kita dan pada pribadi masing-masing? 4. Tanda-tannda mana yang diperlukan agar kita bermakna di tengah umat dan di tengah komunitas kristiani di mana kita berada.
2. Beberapa kegiatan. Untuk mewujudkan pendidikan masing-masing demi pekekaan misioner di tempat atau ad gentes – di luar – untuk mendirikan Ordo, dibutuhkan kematangan dalam hasil pendidikan agar kehadiran kita lebih efisien dan bermakna sesuai dengan kebutuhan Gereja setempat, hendaknya dipertahankan hubungan dengan Tuhan, Lectio divina sebagai nilai yang mendidik untuk bersikap sebagai „diakon“ sesuai dengan teladan Bapak kita.
3. Suatu tanda nyata agar kita kembali pada semangat awal Ordo dalam tahap ketiga ini henddaknya kita menemukan „apa yang diwahyukan Tuhan kepada Fransiskus dan apa yang dituntut kepada Ordo secara pribadi dan bersama yaitu menjadi saksi yang bermanka, hamba untuk semua, saudara dalam Kristus Yesus: ingatlah apa yang terjadi dalam Kapitel tikar. Sebagai tanda peringatan tahap ketiga ini diserahi naskah Petuah-Petuah.
Aku akhiri surat ini dengan kata-kata Bapak Fransiskus yang diberikan kepada Ordo>
Demi Nama Trinitas Yang Mahaluhur dan keesaan yang kudus, Bapa Putra dan Roh Kudus.
Kepada semua saudara, yang aku hormati dan cintai, kepada para minister, custos, para imam persudaraan kita,dengan rendah hati dalam Kristus, kepada semua saudara sederhana dan taat, pertama dan terakhir. Dengarkan, anak Tuhan dan saudaraku, berilah telingamu kepada kata-kataku. Tunduk dengan hatimu dan taatilah suara Putra Allah. Turutilah dengan segala hatimu semua perintahNya dan laksanakan dengan sempurna nasehatNya. Pujilah Dia karena baik, tinggikanlah Dia dengan perbuatanmu, karena itu kalian diutus ke dunia agar menjadi saksi suaraNya dengan kata dan perbuatan.Katakanlah bahwa tidak ada lain seperti Dia mahakuasa. Tekunlah dalam hidup yang rapi dan dalam ketaatan. Setia pada apa yang telah dijanjikan dengan sikap baik dan tekun.

Roma, 29 november 2007
Pesta semua Orang kudus Ordo Serafik

Vostro fratello

Fr. Marco Tasca
Ministro Generale

(terjemahan Sabato Salvatore)


SUMBER: http://xoomer.virgilio.it/kustodiaindonesia/indo/Documento1.htm

Perintah Supaya Saling Mengasihi

Love, Obey & Joy ( Yoh 15:9-11)
Pengkhotbah : Pdt. Sutjipto Subeno
Yoh 15:9-11 merupakan dorongan Tuhan setelah membahas 8 ayat. Bagian tersebut diberi judul baru “Perintah supaya saling mengasihi”. Sedangkan perikop sebelumnya berjudul “Pokok anggur yang benar”. Sebenarnya topik dasar Yoh 15:1-27 yaitu relasi/persekutuan antara Allah dan umat­Nya dengan Kristus sebagai mediator.
Mengenai relasi tersebut, Tuhan memberi ilustrasi/figurasi dimana Bapa di Surga sebagai The Owner, Kristus jadi pokok anggur dan umatNya adalah carang. Lalu prinsip dasarnya diungkap di ayat 8. Sehingga mereka akan berbuah banyak. Kalau tidak, ranting itu akan dipotong, dibuang hingga jadi kering dan dibakar.
Di ayat 9 Tuhan mulai membahas hakikat inti relasi tersebut. Di ayat 9-11 ada 3 aspek mengenai status orang Kristen dalam relasi itu. Dan secara spesifik ada 3 kata dinyatakan yaitu kasih (ayat 9), ketaatan (ayat 10) dan sukacita (ayat 11).
Pernyataan Tuhan di ayat 15 bisa jadi berbahaya serta dapat dimanipulasi kalau tak dimengerti secara tepat karena kadang manusia sangat egois dan sombong. Setelah itu, Ia juga memberitahukan tugas dan resiko. Tiap relasi pasti mengandung konsekuensi.
Yoh 13:31-16:33 termasuk the exclusive teaching of Christ yang diberikan dan dapat dinikmati hanya oleh 11 murid sejati setelah Yudas diusir. Mereka yang bukan murid/anak Tuhan takkan mampu menjalankannya. Sebaliknya hanya akan menimbulkan ekses negatif. Kecuali kalau mereka bertobat.
Tuhan menuntut pengikut­Nya mengerti konsep relasi secara tepat dan total agar hidup mereka mempermuliakanNya. Sehingga mereka jadi manusia bermakna. Kalau tidak, mereka akan kehilangan nilai dan semua yang dikerjakan jadi sia-sia.
Manusia punya 4 macam relasi tak terhindarkan: (1)dengan Tuhan, (2)dengan diri sendiri, (3)dengan sesama dan (4)dengan alam. Relasi pertama termasuk paling essensial tapi sangat sulit karena tak dimungkinkan lagi atau sudah putus/rusak sejak kejatuhannya ke dalam dosa (Kej 3) yaitu melawan/memberontak terhadap Allah. Itulah kematian.
Maka semua relasinya juga tak dapat dipulihkan. Ia jadi marah, tak dapat berdamai dan menerima diri. Ia mengalami konflik internal karena sadar akan kecacatan, kejelekan, kekurangan dan kejahatannya. Ini bukan sekedar kesadaran psikologis melainkan essensial. Maka Psikologi gagal menyelesaikan problem tersebut yang terlalu rumit karena essensi dasar tak terselesaikan. Ia mulai berhadapan dengan idealisme dan kebobrokannya akibat dosa. Ia ingin tampil baik tapi juga harus mengakui dirinya berdosa, hancur, memalukan, menjijikkan, layak dibenci dan tak sempurna/murni/suci lagi. Tiap orang pernah mengalaminya tapi tingkat kesadarannya beda. Akibatnya, ia sebenarnya jadi takut pada diri sendiri.
Freud berpendapat semua manusia mengandung kegilaan kecuali dirinya sendiri. Lalu ia berusaha menyembuhkan mereka. Maka Carl Jung menyarankan, teori psiko-analisa perlu diterapkan pada diri Freud sendiri karena mungkin ia harus dirawat. Freud jadi marah. Padahal kalau benar, ia seharusnya tak perlu marah.
Manusia juga berseteru, mempersalahkan dan memfitnah sesamanya. Sejak Kej 3:11-12 hubungan mereka jadi paranoid, bermusuhan dan tak indah lagi. Orang di sekeliling jadi ancaman. Hidup jadi gentar, celaka dan tak aman lagi. Tak ada lagi tempat yang enak.
Orang berdosa jadi makin fundamentalis. Kondisi semacam ini sangat menakutkan/ mengerikan karena orang lain boleh dibunuh/dibom/dihancurkan dan tindakan tersebut di­nggap sah. Kebencian sudah merasuk ke dalam diri manusia. Akhirnya homo homini lupus (manusia jadi serigala terhadap sesamanya) jadi kenyataan. Padahal dunia makin maju, modern dan berteknologi tapi tiap orang semakin memproteksi diri.
Hubungan manusia dengan alam juga rusak. Alam semesta ikut terkutuk hingga jadi disharmonis dan saling memakan. Lalu manusia memanipulasi dan mengeksploitasinya hingga hancur. Sebaliknya alam juga menghancurkan manusia. Di Alkitab tercatat beberapa aspek dan yang pertama kali, tumbuh onak duri. Alam yang sebelumnya murni, bersahabat dan tak bermasalah jadi menyakitkan hingga manusia harus waspada. Mawar memang indah tapi berduri tajam.
Keadaan saat ini cukup menakutkan. Dunia makin susah dan panas. Dalam tempo 10 tahun, hutan tropis akan habis. Di Indonesia tinggal 1 hutan tropis di Sumatra yang juga sedang mengalami kehancuran karena ditebangi. Yang di Kalimantan, Sulawesi dan Samosir sudah hancur. KTT Bumi tak berhasil. Pengrusakan hutan dan lapisan ozon yang berlubang berakibat temperatur bumi terus naik, tiap tahun 1/3 derajat.
Di tahun 2050 energi dan cadangan minyak drop tapi tak ditemukan alternatif lain. Di Skandinavia dicoba mencari energi arus bawah laut dengan menggunakan turbin yang sangat besar, kipasnya sekitar 50 meter. Maka kedalaman air harus lebih dari 200-300 meter. Tapi investasinya sangat mahal.
Penyelesaian krisis energi hanya 1 yaitu nuklir. Tapi tak ada reaktor nuklir yang tak bocor. Termasuk yang di Batam dan Serpong. Sekitar 20-80 tahun lagi, efeknya baru terasa. Sungguh sangat menakutkan. Saat ini limbah nuklir tak terselesaikan tapi malah ditanam di bawah laut dalam di dekat Kutub Selatan. Padahal kapasitasnya bertahan hanya selama 75 tahun. Dan yang sudah tertanam berusia 25-50 tahun. Diharapkan akan ditemukan cara menetralisirnya. Sedangkan Greenpeace berusaha menghentikan penggunaannya sebelum laut tercemar radioaktif.
Dunia jadi menakutkan dan mengancam kehidupan hingga orang tak tahu lagi relasi yang sesungguhnya. Dan kunci penyelesaiannya impossible kecuali terjadi dalam diri anak Tuhan. Relasi manusia denganNya harus terselesaikan, barulah semua relasi yang lain dapat diselesaikan.
Kunci relasi terpenting dinyatakan di Yoh 15:9. Hubungan harus berada dalam kasih. Tapi kasih tak dapat dijalankan kecuali manusia connect lagi dengan Sumber dan Diri kasih yang sesungguhnya yaitu Allah. God is love. Maka kalau orang Kristen ingin punya kasih sejati, harus kembali kepadaNya. Ini memang sulit tapi tanpa tindakan tersebut ia takkan mampu mengasihi. Dan ia tak mungkin kembali kepada Allah kecuali Kristus mengasihinya. John Calvin berpendapat, manusia harus menyadari Kristus sebagai pusat. Bapa tak langsung mengasihinya melainkan melalui Kristus. Ketika mengaplikasikan kasih, ia harus kembali kepada Kristus, barulah mengerti akan kasih Allah. Inilah kuncinya. Tanpa pengertian Kristologi yang benar, ia takkan mengerti kasih sejati.
Ironisnya, manusia malah masuk ke dalam konflik antara kasih sejati dan palsu. Dunia sebenarnya tahu kalau ingin berelasi baik, harus mengasihi. Tapi mereka tak mampu mengerti kasih meskipun ada banyak istilahnya. Mereka mengasihi dengan kasih yang bukan dari Allah. Ada 4 format kasih di dunia:
(1)Kasih bersifat beneficial/kasih utilitarianistik. Inilah yang terbanyak kuantitasnya dan paling rusak. Kasih tersebut berbasis pada konsep utility dan berdasarkan filosofi utilitarianisme yang membentuk budaya modern. Prinsipnya ialah asas manfaat. Di dunia, kasih yang terbanyak dijalankan yaitu mencintai orang lain yang menguntungkan diri sendiri. Kalau tidak, ia tak lagi cinta. Ketika dunia mencintai, yang terbesar ialah cinta bisnis, mulai dari orang berpendidikan hingga sederhana. Inilah nuansa mayoritas konsep cinta di dunia yaitu kasih kondisional.
(2)Kasih karena ketakutan/keharusan/respect pada otoritas yang lebih tinggi. Contoh, dengan pimpinan karena takut dipecat. Ini mendekati konsep benefit tapi masih ada personal.
(3)Kasih karena tanggung jawab. Ada keterpaksaan karena kalau tidak, namanya akan jelek dan dianggap tak berhati nurani. Mengasihi memang seharusnya karena hidup bersosial tak boleh membenci. Jadi, untuk menyatakan pertanggungjawaban hidup, ia harus mengasihi semua orang. For­at tersebut terbanyak dipakai oleh orang Tionghoa dan Kristen.
(4)Kasih karena kesamaan tertentu. Contoh, perantau di negara lain ketika bertemu orang berkebangsaan sama, biasanya bisa lebih dekat dan perhatian. Inilah kasih persaudaraan menurut Alkitab. Atau kesamaan marga, kampung halaman, hobby, alma mater dll. Tapi itu bukan kasih yang benar karena yang dikasihi ialah kesamaannya. Misalnya, si A senang main boling dan begitu pula si B. Maka si A dan B jadi saling tertarik sekaligus mengasihi karena mereka senang main boling. Inilah yang dunia lakukan. Mereka sebenarnya tak mengenal cinta sejati melainkan yang humanis. Itu bukan cinta Tuhan. Tapi mereka merasa sudah mencintai.
Allah menghendaki kasih yang diberikan dari Kristus (Yoh 15:9). Calvin sangat keras menekankan signifikansi posisi Kristus sebagai mediator. Kalau orang Kristen merasa mendapat cinta kasih dari Allah, sebelum memandang kepada Kristus, itu belum sah dan mungkin ia jatuh ke dalam cinta palsu. Sedangkan cinta Kristus adalah yang sesungguhnya dan diteladankan pada pengikutNya.
Ada orang merasa tak diberkati maka berdoa dan minta tv 44 inch karena tetangga sebelah baru beli yang flat 29 inch. Ia bermaksud mengalahkan tetangga padahal belum mampu membelinya. Sebenarnya ia punya tv ukuran kecil. Keesokan pagi, ada yang mengantar tv 44 inch. Reaksinya, ia bersyukur dan mengucap terima kasih dalam doa karena Tuhan sangat menyayanginya. Sesungguhnya, itu terjadi bukan karena Allah mencintainya melainkan Setan. Itu bukan jawabanNya tapi Iblis karena doa tersebut muncul dari ego pribadi dan iri hati yang tak cocok dengan sifatNya. Maka Tuhan tak mungkin berkooperasi dengannya. Itu bukan format/cara/citra cinta kasih sejati dalam Kristus yang dinyatakan di Alkitab dan diberikan pada umatNya.
Ketika mencintai, Tuhan rela berkorban. Inilah yang terjadi. Cinta-sejatiNya tak memikirkan keinginan Diri melainkan objek kasihNya. Maka tiap anakNya diminta mengasihi demi orang lain bertobat, termasuk musuh. Cinta yang Kristus tunjukkan tak dapat dimengerti oleh orang berdosa karena cara berpikirnya terbalik.
Kristus yang ialah Pencipta sekaligus Pemilik alam semesta turun ke dunia jadi bayi yang terbatas, harus dipelihara, diberi susu dan makanan. Bukan hanya turun jadi manusia tapi juga jadi budak. Itu merupakan penurunan kualitatif yang sangat menakutkan. Padahal Ia berhak menolaknya karena memang tak harus terjadi. Tak ada keharusan bagiNya untuk datang ke dunia. Kalau manusia pasti tak mau mengalaminya.
Di Yoh 1:11 tertulis, “Ia datang kepada milik kepunyaanNya, tetapi orang-orang kepunyaan­Nya itu tidak menerimaNya.” Itulah yang terjadi. Sungguh sakit hatiNya. Seharusnya Ia mampu menghancurkan mereka karena memusuhiNya. Tapi Ia tak melakukannya. Sebaliknya Ia rela dicerca dan dihina. Ia tetap mencintai mereka terus hingga mati di kayu salib. Ia mati dengan cara yang sangat hina dan paling celaka seperti penjahat. Bukan karena kesalahanNya. Ia tak berdosa tapi difitnah dan diperlakukan secara tak adil justru karena cintaNya. Ia juga tak membantah. Bahkan dalam keadaan paling menyakitkan dan menderita yaitu ketika dipaku, Ia masih sanggup mengampuni mereka (Luk 23:34). Semua peristiwa tersebut menggenapkan Yoh 3:16.
cinta Kristus ialah contoh yang harus dipelajari oleh orang Kristen. Relasinya dengan Allah akan pulih ketika Kristus mencintai dan memulihkannya. Tak seorang pun mengerti dan mampu menjalankan cinta kasih sejati kecuali Tuhan mengasihinya terlebih dahulu. Ia datang pada manusia, musuh yang seharusnya mati malah dicintaiNya. Ia mati karena dosa manusia. Alasannya hanya 1 yaitu kasih. That’s the true love yang tak mungkin ada dan dilakukan oleh orang dunia karena sifatnya exclusive. Itulah kasih Allah yang ditanamkan dalam Diri Kristus. Ia sanggup menjalankannya lalu memberikannya pada umatNya (Yoh 15:9).
Dunia takkan mengerti essensi kasih sejati yang tak memikirkan kepentingan diri melainkan orang lain sebagai objek cintanya. Ironisnya, beberapa konsep Kekristenan tercemar oleh kasih dunia. Bahkan kelihatan sekali dalam pelayanan
Seharusnya orang Kristen melayani dengan konsep cinta Tuhan. Semua dilakukan demi kepentinganNya. Kalau perlu, berkorban pun rela. Konsep tersebut harus terus mewarnai Gereja selamanya. Cinta tersebut akan meluap keluar kalau memang ada dalam dirinya dan ia juga berada dalam kasih. Cinta Kristus memang sudah diberikan. Maka Tuhan tak memintanya untuk mencari kasihNya.
Kalau suami mengasihi istrinya dengan sungguh, seharusnya memikirkan yang terbaik untuknya. Demikian pula orangtua yang mencintai anaknya. Bukan menjadikan orang yang dikasihi sebagai alat untuk dimanipulasi. Apalagi dalam pekerjaanNya. Kalau cinta memenuhi diri pekerjaNya, akan membuat mereka termotivasi to do the best sesuai kehendakNya. Maka kesucian, keindahan, keanggunan, kebenaran dan keadilan akan muncul bersama.
Ada orang tak mau melayani bukan karena tak mampu. Atau kalau sudah melayani lalu dikritik, langsung protes/marah karena tak dibayar. Ia merasa sangat dirugikan. Tapi kalau dilakukan dengan cinta kasih sejati, akan memotivasi untuk melayani dengan baik. Pengorbanan dan segala yang dikerjakan akan jadi sangat indah bersamaNya. Ironisnya, justru orang Kristen seringkali kekeringan cinta kasih.
CintaNya seharusnya mengisi orang percaya sehingga mau membawa berita Surga pada sekelilingnya. Ketika cinta agape/ilahi dijalankan, dunia akan tahu bedanya (qualitative difference) tapi tak mampu menjalankannya. Cinta tersebut telah menunjukkan kualitas tertentu. Sungguh cinta yang murni dan menginginkan yang terbaik, benar, adil dan suci karena itulah sifatNya.
Kasih bukan teori dengan segala aturan melainkan justru praktis/riil dalam Kristus sebagai teladan. Calvin berpendapat, relasi Allah dan manusia tak dapat dilepaskan dari Kristus. Maka ketika mengasihi, orang Kristen harus memandang dan meneladaniNya. Dan kasih yang dipakai ialah pemberianNya yang akan merubah hidupnya.
Tuhan menghendaki anakNya jadi reflektor kasih. Dunia sudah sangat gersang dan mengerikan karena tak pernah menyaksikan kasih sejati secara riil. Orang Kristen seharusnya mampu menampilkan dan kembali membangkitkannya karena Allah menghendakinya.
Kasih dan ketaatan akan membawa pada sukacita sejati (Yoh 15:11). Itu akan terjadi kalau orang Kristen berada dalam cinta kasih sejati. Cinta palsu takkan memberi sukacita sejati melainkan sekedar ilusi.
Akan sangat menyenangkan berada di sekitar orang bermuka ceria/penuh senyum. Memang ada orang yang Tuhan beri karunia tersebut. Ketika bertemu dengannya, orang akan ikut happy. Bahkan orang non-Kristen akan bertobat hanya karena melihat keceriaan jemaat setelah pulang dari kebaktian. Tapi penginjilan tak hanya melalui kesaksian tingkah laku melainkan tetap harus mendengar Injil. Dunia sangat menantikan sukacita. Biarlah Tuhan memakai tiap anakNya untuk berbagi kasih dan sukacita dengan orang lain sehingga dunia jadi lebih cerah sekaligus indah. Amin.?
**) Sumber: http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2002/20021117.htm--> Ringkasan Khotbah : 17 November 2002

Senin, 10 Mei 2010

Tugas dan peran Katekese

. Katekese memberitakan sabda Allah, mewartakan Kristus
o Katekese, suatu wujud pelayanan sabda Allah menghadapi kesulitan dalam memanfaatkan ajaran teolog tentang sabda Allah
o Maksdu terdalam katekese adalah agar iman dan hidup manusia berpadu secara integral
o Katekese berfungsi menggali pengalaman dengan maksud memasang saluran komunikasi iman.
Beberapa dimensi fundamental dari misteri sabda Allah untuk mengenal hakikat katekese :
Mewartakan Yesus Kristus
• Pertama-tama kita menelaah element penting dalam perencanaan pewahyuan diri Allah kepada manusia, (gaudium et Spes 22)
“Sesungguhnya hanya dalam misteri Sabda yang menjelmalah misteri manusia bener-benar menjadi jelas…Kristus, adam yang baru, dalam pewahtuan misteri Bapa serta cinta kasihnYA sendiri, sepenuhnya menampilkan manusia bagi manusia, dan membeberkan kepadanya panggilannya yang amat luhur.”
• Dimensi kristosentris dan persinalistis dari wahyu Allah harus sepenuhnya mewarnai dan menyatakan perbedaan dari setiap bentuk pelayanan sabda.
Hakikat dan tujuan katekese di Indoneisa dirumuskan oleh para Uskup sebagai berikut :
Katekese salah usaha saling menolong terus menerus dari setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup pribadi maupun bersama menurut pola Kristus menuju hidup kristiani yang dewasa penuh (naskah kerja MAWI 1976)
Mewartakan kabar Gembira
Katekese memberi keterangan dan tafsiran atas kehidupan manusia. Dimensi fundamental lain dari sabda Allah dalam manifestasi historisnya adalah dimensi penyelematan dan sifat antropologisnya.
Sabda Allah menafsirkan dan menerangi eksistensi manusia. Wahyu mewujudkan diri dalam bentuk kata dan perbuatan, warta dan kejadian. Begitulah wahyu bersifat menerangi dan memberi arti atas peristiwa hidup, problem eksistensial dan histories manusia seraya menghalau kekaburan dan kekelaman.
Sabda Allah berdaya mengubah dan membebaskan. Sabda Allah mengandung kekuatan bukan saja untuk mentafsirkan sejarah tetapi juga untuk menciptakan sejarah. Wahyu adalah suatu sabda yang mengerjakan apa yang diwartakan dan yang dijanjikan, seperti keselamatan, pembebasan, persekutuan, dan damai. Sabda menyatakan pembebasan integral umat manusia seluruhnya (EN 31)
Katekese adalah pelayan sabda Allah, ia mesti sadar akan hakikat dan tugasnya. (katekese menolong manusia dengan memberitakan sabda pembebasan dan penyelamatan Allah.
Katekese mendidik umat beriman (Messaggio sinodo 77 no 5)
Pewartaan kabar keselamatan seyogianya menimbulkan jawaban silang pendengar, Jawaban itu disebut iman. Iman dan katekese jadinya kita mengkait dan saling membutuhkan.
Tugas konkret katekese
• Menyuburkan dan membangkitkan pertobatan
Pertobatan sebagai momen fundamental dan pemersatu dinamisme iman termasuk bidang katekese sekalipun pertobatan itu pada dirinya adalah sasaran evangelisasi dalam arti sempit. Akan tetapi kenyataan menunjukan-terutama dalam gereja yang telah bertradisi kristiani-bahwa penyerahan diri secara menyeluruh pada awal satu katekese tidak mungkin terjadi. Hal ini sebagian disebabkan oleh kebiasaan pembatisan pada usia kanak-kanak dan sebagian lagi oleh kekurangan pelayanan pastoral. Yang berakibat terhambatnya perkembangan iman secara teratur dan tidak tercapainya pertobatan (bdk CT 19)
• Membimbing umat beriman untuk memahami misteri Kristus.
Katekese yang berfungsi sebagai media pendidikan iman tidak boleh melupakan aspek pengetahuan iman dan juga sikap iman. Tugasnya adalah mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam dan lengkap perihal Misteri Kristus sebagai obyek sentral iman.
• Mendorong umat beriman bertindak aktif dalam Gereja dan masyarakat.
Dalam proses pendidikan iman yang terarah pada kedewasaan harus dikembangkan pula komponen operatif, yakni berbuat sesuatu bagi Gereja dan masyaarakat sesuai dengan situasi dan pola hidup.Dalam Konteks ini dapat dikatakan bahwa katekese berupa inisiasi ke dalam suatu proses yang mengubah manusia secara intern. Dasar teologis perubahan ini adalah kebersamaan dalam kematian dan kebangkitan Kristus
.
Secara singkat tugas-tugas katekese dapat dipadukan dalam fungsi dan aktivitas gereja
• Katekese berupa inisiasi untuk tugas diakonia
Bentuknya :Memberi kesaksian di dunia, Mendidik melakukan karya kasih dan melayani kaum tersingkir dari masyarakat, Berjuang demi keadilan dan kedamaian.
• Katekese berupa inisiasi untuk tugas Koinonia
Katkesese berkaitan dengan persekutuan gerejawi hendakanya diusahakan semangat persaudaranan dan setia kawan, kemampuan berkomunikasi, berdialog, dan berpartisipasi dalam hidup menggereja, Sikap taat yang wajar dan dewasa terhadap pemerintah
• Katekese berupa inisiasi untuk mendengar dan mewartakan sabda (kerygma)
Katekese bertugas membangkitakan semangat umat untuk ikut aktif dalam fungsi profetis Gereja termasuk mengusahakan : Pembacaan kitab suci, Pendidikan dalam mendengar sabda Allah, Penyiapan orang-orang untuk merasul dan aktif dalam karya missioner
• Katekese berupa inisiasi kedalam liturgy
Katekese mempersiapkan umat untuk menerima sakramen-sakramen dengan layak dan bermanfaat, untuk mencintai doa dan meditasi, untuk menghayati kebaktian-kebaktian litugi lainnya
• Katekese berupa inisiasi untuk panggilan hidup menggereja
Termasuk dalam kegiatan ini menggunkapkan pelayanan dan peranan pribadi-pribadi dalam hidup menggereja, memberitakan pengarahan dan pembinaan panggilan imamat dan hidup membiara
• Menumbuhkan dan mendewasakan sikap
Pendidikan sikap harus juga menjadi sasaran katekese, bahkan tugas ini jauh lebih menetukan. Pengetahuan agama dan perilaku kristiani tidak menjamin pertumbuhan iman, jika tidak padau dengan pendewasaan sikap iman. Sehingga pendewasaan sikap iman dijadikan tujuan sentral dari kegiatan katekese. Untuk memahami tujuan sentral perlu dipahami konsep bibles dan tradisi yang menempatkan pada pusat hidup seorang Kristen sikap dasariah ini, iman pengharapan dan cinta kasih, dalam proses pendidikan iman ketiganya tidak terpisahkan, sebab pada dasaranya pengharapan dan cinta adalah dimensi yang tidak terpisahkan dari sikap iman.
Peranan Konkret katekese
• Mematangkan sikap iman
• Mematangkan pengharapan
• Mematangkan cinta kasih
Pemahaman katekese umat adalah sebagai komunikasi iman umat, katekese dari umat dan untuk umat, katekese yang menjemaat, yang berdsarkan pada situasi konkret setempat, dan berpola pada Yesus Kristus.
Dimana batasan Kateksese, yaitu usaha saling menolong terus menerus dari setiap orang untuk mengartikan dan mendalami hidup pribadi meupun bersama menurut pola Yesus Kristus menuju kepada hidup kristianilah yang penuh.
Rumusan Katese umat hasil rangkuman dari segala sumbangan pikiran dan kelompok-kelompok Regio Gerejwi terdiri dari 6 poin
• Katekese umat diartikan sebagai komunikasi iman atau tukar pengalaman iman (penghayatan ima)( antar anggota jemaat/kelompok.
• Melalui kesaksian, peserta saling membantu sedemikian rupa, sehingga iman masing-masing diteguhkan dan dihayati secara semangkin sempurna. Dalam katekese umat, tekanan terutama dilektakan pada penghayatan iman, meskipun pengetahuan tidak dilupakan. Katekese umat mengandaikan ada perencanaan
• Dalam katekese umat, kita bersaksi tentang iman kita akan Yesus Kristus, pengantara Allah yang bersabda kepada kita dan pengantara kita menanggapi sabda Allah. Yesus Kristus tampil sebagai pola hidup kita dalam kitab suci, khususnya dalam Perjanjian baru, yang mendasari penghayatan iman Gereja sepanjang tradisinya.
• Yang berkatekese ialah umat, artinya semua orang beriman yang secara pribadi memilih Kristus secara bebas berkumpul untuk lebih memahami Kristus; Kristus menjadi pola hidup pribadi, pun pola hidup kelompok, jadi yang berkatekese adalah seluruh umat yang baik yang berkumpul dalam kelompok-kelompok basis. Penekanan pada seluruh umat ini justru merupakan salah satu unsure yang memberi arah pada katekese sekrang.
• Dalam katekese umat, pimpinan katekese bertindak terutama sebagai pengarah dan fasilitator. Ia adalah pelayan yang menciptakan suasana komunikatif. Ia berupa membangkitkan gairah supaya para peserta berani berbicara secara terbuka
• Katekese umat merupakan komunikasi iman peserta sebagai sesame dalam iman yang sederajat, yang saling bersaksi tentang iman mereka.
Tujuan dari komunikasi iman adalah
• Supaya dalam terang injil, kita semakin meresapi arti pengalaman-pengalaman kita sehari-hari
• Kita bertibat kepada allah dan semakin menyadari kehadiranNYA dalam kenyataan hidup kristiani sehari-hari
• Dengan demikian kita semakin sempurna beriman, berharap, mengamalkan cinta kasih dan hidup kristiani kita makin dikukuhkan
• Sehingga kita sanggup memberi kesaksian tentang Kristus dalam hidup kita di tengah masyarakat.
Diperkenankan untuk mengutip sebagian atau seluruhnya isi materi dengan mencantumkan

=============================
sumber http://www.imankatolik.or.id
Sumber :http://www.imankatolik.or.id/perananku.html

Apakah Seminari itu?

1. Apakah Seminari itu?
Kata seminari berasal dari kata Latin `semen’ yang berarti `benih atau bibit’. Seminari berasal dari kata Latin `seminarium’ yang berarti `tempat pembibitan, tempat pesemaian benih-benih’. Maka, seminari lalu berarti: sebuah tempat tepatnya sebuah sekolah yang bergabung dengan asrama: tempat belajar dan tempat tinggal] di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan, secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam / biarawan. Adapun kata `seminaris’ menunjuk pada para siswa yang belajar di seminari tersebut.
Dari lintas sejarah gereja, kita mengenal seminari yang klasik, yakni serentak sebagai sebuah sekolah di mana para seminarisnya belajar di dalam kompleks seminari, entah sebagai sebuah SMP atau SMA dan sekaligus sebagai asrama di mana mereka tinggal dan hidup dari hari ke hari.
Namun, seiring perkembangan waktu, demi alasan praktis dan demi juga kehidupan masa remaja yang alamiah, maka ada seminari modern di mana para seminaris mengikuti pendidikan SMP atau SMAnya di sekolah lain di luar kompleks seminari, namun mereka tinggal di dalam seminari sebagai asrama dan mengikuti pelajaran pelajaran dan pembinaan khusus yang dibutuhkan oleh setiap calon imam.
2. Mengapa ada Seminari Menengah dan Seminari Tinggi?
Wah, bukan hanya seminari menengah dan tinggi saja, ada juga seminari `kelas persiapan atas’ bahkan ada juga seminari `Tahun Orientasi Rohani’. Apa maksudnya?
Seminari Menengah yang ada di Indonesia masih dibedakan lagi atas:
Seminari Menengah tingkat SMP yakni yang menerima para seminaris sesudah mereka menamatkan SD. Di sini mereka belajar selama 3 tahun, mengikuti kurikulum SMP pada umumnya, ditambah dengan beberapa materi pelajaran khas Seminari. Kita masih memiliki beberapa Seminari Menengah tingkat SMP, yakni di Tuke Keuskupan Denpasar, di Maumere untuk Keuskupan Agung Ende, di Kisol untuk Keuskupan Ruteng, di Saumlaki untuk Keuskupan Ambon, dan nanti di Aimas untuk Keuskupan Sorong.
Seminari Menengah untuk tingkat SMA adalah yang paling umum di Indonesia. Para siswa diterima sesudah mereka menamatkan SMP. Di sini mereka mengikuti 3 tahun pendidikan memenuhi kurikulum pemerintah plus kurikulum Seminari, sekaligus dengan tambahan 1 tahun, entah pada tahun pertama memasuki Seminari [disebut KPB: Kelas Persiapan bawah] atau nanti ditambahkan sesudah melewatkan 3 tahun pendidikan SMAnya [disebut KPA: kelas persiapan akhir].
Seminari Menengah KPA [Kelas Persiapan Atas] adalah sebuah seminari yang melayani mereka yang disebut mengalami `panggilan terlambat’, artinya yang memutuskan menjadi calon imam sesudah menamatkan SMA, bahkan sementara atau sesudah kuliah ataupun bekerja. Mereka mengikuti pembinaan khusus minimal selama 1 tahun dan berdasarkan kebutuhan ada yang sampai 2 tahun.
Seminari Tahun Orientasi Rohani [TOR] adalah sebuah tempat pembinaan khusus benih-benih panggilan bagi mereka yang telah menamatkan Seminari Menengah tingkat SMU atau Seminari Menengah KPA, dan yang memilih menjadi calon imam diosesan atau imam praja. Selama setahun mereka mengalami pembinaan khusus di bidang kepribadian dan kerohanian sekaligus untuk lebih mengenal dan menghayati seluk beluk imam diosesan.
Seminari Tinggi adalah jenjang pembinaan terakhir dari para calon imam sesudah mereka mengikuti Seminari Tahun Orientasi Rohani. Biasanya pendidikan yang ditempuh di sini selama 6 tahun kuliah ditambah 1 tahun praktek Tahun Orientasi Pastoral.
Di Indonesia terdapat 31 Seminari Menengah, 3 KPA, 12 TOR dan 13 Seminari Tinggi.
3. Jadi berapa tahun dibutuhkan untuk menjadi imam?
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat SMP, maka ia memerlukan: 3 tahun seminari menengah tingkat SMP, 3 tahun seminari menengah tingkat SMU, 1 tahun seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 14 tahun.
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat SMU maka ia memerlukan: 4 tahun Seminari Menengah tingkat SMU, 1 tahun seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 12 tahun.
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat KPA maka ia memerlukan minimal: 1 tahun Seminari Menengah tingkat KPA, 1 tahun Seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 9 tahun.
Hukum Gereja memberikan kemungkinan bagi mereka yang mau menjadi imam sesudah mengikuti pendidikan akademis yang memadai untuk tidak mengikuti seluruh tuntutan pembinaan mulai dari Seminari Menengah KPA, TOR dan Seminari Tinggi. Uskup dapat memberi dispensasi -sesudah penyelidikan yang matang- untuk mengikuti pendidikan filsafat dan teologi saja, bahkan juga untuk tidak tinggal di seminari sebagaimana lazimnya.
4. Apa saja yang dipelajari di masing-masing tingkatan Seminari tadi?
Secara umum materi yang diprogramkan pemerintah untuk setiap jenjang pendidikan harus dipelajari oleh para seminaris sesuai tingkat masing-masing, entah SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Adapun materi binaan tambahan pada umumnya adalah: Pengetahuan Agama Katolik, Sejarah Gereja, Kitab Suci, Liturgi, Kepribadian, Etiket / Pergaulan, Psikologi Perkembangan, Public Speaking, tambahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Latin dan bahasa pilihan lainnya, Musik / Kesenian Gereja, Kebudayaan, Pastoral, Katekese, Hidup Berkomunitas, Panggilan dan Motivasi, Bina Kepribadian, Bimbingan Rohani, dll.
Jadi di sela-sela mengikuti kurikulum pemerintah, para seminaris harus menyisihkan waktu untuk memenuhi kurikulum seminari.
Pendidikan di seminari semuanya diterapkan dengan disiplin yang prima, sekaligus tidak kaku dan mematikan, tetap menghormati hak asasi manusia, demokratis dan kristiani.
Seluruh pembinaan di Seminari tidak lepas dari 4 kerangka dasar ini yakni membantu peningkatan pemberdayaan dan kemampuan tiap seminaris dalam bidang: kemanusiaan / kepribadiannya, akademi / intelektualnya, kerohanian / spiritualitasnya dan kecakapan serta keterampilan berpastoral.
5. Khusus untuk seminari menengah, apakah anak-anak tidak terlalu kecil untuk dapat memutuskan bahwa ia ingin menjadi seorang imam? Apakah anak bukan korban keinginan orang tua? Jika demikian, apakah dapat disebut sebagai panggilan?
Ketika Seorang Imam di Keuskupan Agung Pontianak mewawancarai seorang siswa seminaris tingkat SMA di Seminari St Paulus Nyarumkop , Kalimantan Barat, ia mendapat jawaban ini dari seorang seminaris: Saya ingin sekali sejak usia dini memberikan diri dan cita-cita saya pada imamat. Anak ayam pun masih kecil tetapi ia sudah mulai mencari makanannya sendiri demi masa depannya.
Jawaban polos ini dapat menjelaskan mengapa seminari menengah itu perlu dan penting. Ini juga bukti bahwa panggilan Tuhan mulai terasa pada jenjang usia manapun dan tugas Gereja memberi tempat pada panggilan itu. Manfaat lain dari pendidikan dini ini ialah: motivasi panggilan bisa menjadi lebih kuat, pengenalan akan imamat bisa lebih lama dan mendalam, budaya belajar dan hidup rohani bisa lebih terbina lewat rentang waktu yang lama dan berkontinuitas.
Namun tak dapat disangkal bahwa ada juga catatan kritisnya, yakni anak-anak terlalu cepat dipisahkan dari keakraban keluarga dan dari pergaulan yang alamiah dengan sesama anak remaja puteri, hal mana bisa mengakibatkan ketidakmatangan afeksi mereka di kemudian hari. Adalah tanggung jawab, peran dan tugas gereja dalam hal ini staf seminari untuk menangkal bahaya negatif, sekaligus meningkatkan manfaat positif yang ada.
Untuk itulah peranan pembimbing rohani pribadi di seminari sangatlah penting, demikian juga peranan para staf pembina, baik rektor maupun sesama imam lainnnya. Mereka bertugas memurnikan motivasi panggilan para seminaris, membantu mereka menolong dirinya sendiri untuk keluar dari kekurangan yang ada, menolong mereka untuk tiba pada keputusan yang matang dan sendiri mengambil keputusan untuk menjadi imam atau tidak. Peran tak tergantikan tetaplah pada anak itu sendiri dalam penentuan akhir sehingga ia dengan bebas dan tanpa paksaan orang tua / paroki ataupun staf mengambil kata akhir dalam terang dan tuntunan Roh Kudus. Panggilan adalah anugerah dari Tuhan maka tidak dapat dipaksakan oleh manusia.
6. Mengapa seminaris harus tinggal di seminari?
Namanya saja `seminaris’ jadi harus berada di `seminarium’ di sebuah tempat pesemaian yang khusus. Dengan demikian ia didampingi dan dikembangkan dalam satu kelompok bibit unggul dengan materi dan sistem pengembangan yang khusus. Suasana seminari menjadi semacam sebuah `paroki atau keuskupan kecil’ dalam arti sang pemimpin umat ini mulai menghidupi sebuah hidup bersama antar pelbagai suku / etnis, kepribadian dan tabiat berbeda: mereka belajar bersosialisasi dan berkomunitas. Di seminari mereka berlatih melayani dan memimpin lewat pelbagai latihan kepribadian dan praktek kerja dan karya serta organisasi. Di seminari mereka belajar bekerjasama, mengembangkan diri, bakat dan talenta demi kepentingan umum, penuh solidaritas dan disiplin serta belas kasih. Di seminari mereka belajar taat dan hormat kepada pimpinannya sekaligus kepada Gereja semesta dan Tuhan sendiri. Di seminari mereka belajar berdoa secara intens, berlatih memimpin doa, ibadah, dll.
Mengingat tujuan hidupnya yang sangat khas maka mereka juga membutuhkan suasana dan sarana bina diri yang lebih menyiapkan mereka untuk memasuki gelanggang pengabdiannya sesiap mungkin, jiwa dan raga, rohani dan jasmani, semangat dan daya. Kendati mereka tinggal di seminari namun mereka tidak asing terhadap dunia dan keluarga. Tersedia waktu dan kesempatan untuk itu. Di seminari, bina diri mereka menjadi komplit dan prima. Bagaimana mungkin seorang belajar renang di ruang kelas saja tanpa terjun ke kolam renang?
7. Panggilan sangat berkurang, apa yang dilakukan Gereja untuk menjaring seminaris?
Pertama, jangan takut dan jangan bingung. Yesus memberi nasehat: berdoalah kepada yang empunya panenan. Maka, Gereja, lewat Komisi Seminari KWI, juga mestinya lewat setiap keuskupan, menghimbau umat untuk terus menerus berdoa bagi adanya benih panggilan imam. Yesus yang menyuruhnya dan Bapa akan mendengarkannya.
Kedua: Perlulah di tiap keuskupan ada gerakan atau komisi promosi panggilan sebagai Komisi Seminari atau Panggilan. Mereka perlu secara teratur, sistematis merencanakan pelbagai bentuk aksi panggilan dengan program yang menarik, materi yang up to date serta bahan yang menyentuh. Bersatulah para biarawan / biarawati dan para imam di keuskupan dan buatlah promosi panggilan bersama.
Ketiga: Perhatikanlah, dekatilah dan gerakkanlah sumber-sumber panggilan. Mulai dari keluarga-keluarga: orang tua harus berani menawarkan kepada anaknya keindahan dan kemuliaan mengikuti jejak Kristus sebagai imam. Sekolah-sekolah baik Katolik maupun non-Katolik adalah lumbung calon panggilan: mereka perlu mendengar tentang heroisme dan hidup penuh bakti para imam. Siapa yang akan menggemakannya di sekolah-sekolah mereka? Organisasi-organisasi anak-anak dan remaja seperti: misdinar, Sekami, Biak, Rekat, Bina Iman Remaja, Legio Mariae Yunior, ini semua adalah kantong-kantong panggilan yang perlu disapa.
Keempat: Anak dan remaja masa kini lebih banyak terfokus pada tokoh-tokoh atau figur-figur duniawi dengan kriteria penilaian bermotif uang, senang, kepuasan, popularitas, mudah dan murah. Gereja perlu menampilkan dan menawarkan figur-figur imam yang berbahagia dalam imamatnya: kesaksian dalam hidup miskin demi orang lain, keteladanan dalam hidup saleh dan kesucian moral, kebahagiaan dalam hidup penuh pengorbanan, sosial dan solider. Anak dan remaja membutuhkan contoh dan teladan dengan nilai-nilai yang mulia: pengurbanan, pemberian diri, pengabdian, kepentingan dan kesejahteraan orang lain.
Kelima: bangunlah persaudaraan dan persahabatan yang akrab dan personal dengan anak dan remaja. Biarlah mereka mengalami pribadi seorang imam, seorang yang terpanggil itu secara dekat dan jujur apa adanya. Rangkullah mereka dalam pelbagai kegiatan pastoral paroki yang cocok untu jiwa dan usia mereka.
Terakhir: berhentilah meminta pastor, mulailah memberikan calon imam. Mungkin dirimu sendiri, mungkin anakmu, keponakanmu, kenalanmu. Bantulah setiap upaya mendapatkan benih panggilan dan bantulah pengembangannya di seminari atas pelbagai cara: dengan dukungan doa, derma dan kesaksian serta ajakanmu.
8. Apakah bersekolah di seminari itu `gratis’? Siapa yang memberi makan para seminaris? Bagaimana dengan seminaris dari keluarga yang kurang mampu?
Seminari sebagai sebuah sekolah dan asrama pasti membutuhkan dana. Sampai 10 tahun lalu seminari kita banyak mendapat bantuan dari donatur di luar negeri. Saat ini banyak yang sudah meninggal dan kebiasaan memberikan bantuan ini tidak diwariskan pada anak-anak mereka sehingga dengan meninggalnya para donatur, langsung menipis jugalah derma dari luar negeri. Karena itu pihak keuskupan mengalami kesulitan dalam membiayai seminari, maka mau tidak mau biaya di seminari harus juga dibantu oleh pihak keluarga. Sebagaimana anak-anak ini jika hidup dalam keluarga toh membutuhkan biaya dan dana maka begitu juga di seminari. Keluarga harus membayar uang sekolah dan uang asrama [rasanya belum ada Seminari yang mewajibkan pembayaran uang masuk sebagaimana ke SMP atau SMU lainnya]. Hal ini dibutuhkan karena para seminaris perlu makan minum 3 kali sehari, membutuhkan asrama / tempat tinggal yang layak dengan penerangan listrik, pemeliharaan gedung termasuk pembayaran tenaga guru / karyawan-karyawati.
Keuskupan dan keluarga yang mempunyai anaknya di seminari, bersama keluarga-keluarga yang murah hati lainnya, kiranya senantiasa bekerjasama agar tersedia cukup makanan dan minuman bergizi bagi para calon imam kita, agar cukup penerangan listrik, pelayanan kesehatan dll. Agar para guru dan karyawan dapat dibayar secara pantas dan tidak di bawah batas kewajaran. Setiap orang Katolik bertanggung jawab atas terlaksananya pembinaan di seminari, pesan Sri Paus Yohanes Paulus II.
Adapun dari data seminari menengah Indonesia, biaya hidup di seminari bervariasi; yang paling murah adalah sebesar Rp 100.000,- sebulan untuk biaya asrama dan sekolah. Dan yang paling tinggi adalah Rp. 350.000,- sebulan bagi keluarga yang mampu. Data yang ada melaporkan bahwa tidak semua seminaris dapat membayar biaya ini setiap bulannya dan ini tentu menyulitkan seminari dan keuskupan sendiri.
Bagi yang kurang mampu, pihak seminari memberikan kemungkinan biaya yang lebih murah, sambil mengingat pesan Paus Yohanes Paulus II bahwa tiada seorang pun dapat disuruh pulang dari seminari hanya karena tidak mampu membayar biaya seminari. Selain itu, ada paroki yang berinisiatif membantu memberikan dana tambahan bagi putra parokinya yang mengalami kesulitan finansial. Untuk tingkat nasional, Komisi Seminari KWI bekerjasama dengan GOTAUS: Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminari, mencari donatur-donatur dari kalangan umat untuk memberikan bantuan bagi anak-anak yang tidak mampu, secara berkala, sebulan sebesar Rp. 50.000,- saja.
9. Bagaimana mengatasi kesulitan dana di Seminari?
Ada pelbagai usaha yang diupayakan oleh pihak seminari, paroki dan keuskupan.
Pihak seminari dapat berupaya melalui penghematan. Juga melalui usaha-usaha swasembada seperti menanam sayur mayur, berkebun, memelihara ternak; sebagai kegiatan ekstrakurikuler dapat mengupayakan kerajinan tangan / ketrampilan berupa pembuatan rosario, lilin, usaha sablon, pembuatan patung / religious articles, toko buku, wartel; juga penampilan koor, ensembel musik, orkes, drumband yang sewaktu-waktu bisa mendapatkan dana.
Pihak paroki: dapat menjadi donatur pertama bagi seminaris putra paroki maupun boleh menawarkan diri untuk menanggung beberapa anak dari paroki lain sekalipun yang membutuhkan dukungan dana. Selalu ada umat yang sangat murah hati dan siap membantu andaikata mereka tahu dengan jelas. Ada umat yang secara rutin mengirimkan beras, minyak goreng dan kebutuhan lainnya. Pihak paroki dapat mengundang para seminaris setahun sekali merayakan misa di parokinya selain sebagai promosi panggilan juga untuk mengetuk rasa tanggung jawab umat dalam ikut membantu pembinaan imam yang akan mengabdi mereka nantinya.
Keuskupan: sebuah gerakan bersama dan teratur kiranya dibutuhkan dalam bentuk komisi seminari / panggilan tingkat keuskupan. Mereka membantu uskup memikirkan kebutuhan seminari sekaligus membantu staf seminari agar para staf dapat lebih terfokus pada pembinaan calon imam dan bukan pada upaya pencarian dana sehingga anak-anak dan pembinaan dikorbankan. Mereka bisa merintis terbentuknya Gotaus tingkat keuskupan.
Terlalu berat bagi seorang rektor untuk memikirkan pembinaan seminaris sementara masih harus mengurus pembelian semen, dana perpustakaan, pencarian uang untuk pembayaran hutang di RS / puskesmas, peningkatan kesejahteraan guru agar mereka tidak lari dan pindah mengajar ke sekolah lain yang bisa membayar lebih tinggi. Keuskupan dapat juga menentukan sebuah hari minggu khusus untuk berdoa dan berderma bagi seminari di seluruh keuskupan. Bahkan meminta umat memberikan derma khusus atau kolekte ke-2 sekali dalam sebulan.
10. Apakah yang dimaksud dengan Mitra Komisi Seminari KWI yang sering disebut-sebut sebagai Gotaus, PGU dan Kelompok Semangat?
Ya, ada 3 kelompok yang bekerja sangat baik dan menjadi mitra artinya rekan sekerja Komisi Seminari KWI, yang keberadaannya diakui dan diterima baik oleh Konferensi Waligereja Indonesia.
GOTAUS : adalah sekelompok kaum awam dari Keuskupan Agung Jakarta yang merasa ikut bertanggung jawab dan perlu membantu berlangsungnya pendidikan di Seminari dengan menghimpunkan diri dalam sebuah Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminaris. Terdorong oleh keprihatinan dan rasa ikut bertanggung jawab, mereka mengajak makin banyak orang / keluarga untuk berperan serta. Caranya ialah dengan mendoakan panggilan calon imam kemudian sebulan sekali memberikan donasi sebesar Rp. 50.000,- untuk satu seminaris.
Saat ini ada 4.105 siswa seminari menengah dan 1.860 yang harus dibantu oleh Gotaus. Adapun jumlah donatur tetap Gotaus saat ini 480 sedangkan donatur tidak tetap [artinya sewaktu-waktu atau pernah 1 kali memberi sumbangan] sebanyak 578. Jumlah donatur tetap memang masih terlalu kecil dan masih ada banyak orang yang mampu menjadi donatur tetap.
Sekretariat Gotaus berada di Komisi Seminari KWI, Jl. Cut Meutia 10, nomor telpon: 021-9226756, fax: 021-31907046, email: komsem@kawali.org. Adapun nomor rekeningnya: BCA KCP Central Cikini, 878.0109891, an Rm. Terry Ponomban / ML Yenny Widowati; Bank Niaga Jkt, 022-01-00303-11-0, an Rm Terry Ponomban; Bank Danamon Cab Kebon Sirih, Primadollar no. 36730893, an. Rm Terry Ponomban / ML Yenny Widowati.
Gotaus ini dipimpin oleh seorang awam yakni Bpk. H.Y. Susmanto dan Rm. Terry Ponomban sebagai sekretaris ex officio.
PGU : adalah singkatan dari Paguyuban Gembala Utama yang bermula dari perkumpulan para ex-seminari dari Seminari Mertoyudan KA Semarang. Mereka berkumpul dan bernostalgia lalu tergerak untuk berbuat sesuatu bagi alma maternya. Maka dengan cepat jumlah anggota bertambah dan berkembang dan mereka mulai membantu bukan hanya alma maternya sendiri tetapi juga seminari-seminari lain di pulau Jawa bahkan lebih nasional lagi ke seluruh Indonesia. Maka anggotanya pun makin `nasional’ dan mereka lebih memantapkan diri dalam Paguyuban Gembala Utama dan senantiasa terbuka kepada setiap alumni seminari manapun untuk bergabung.
PGU memberikan bantuan khusus bagi pembinaan sumber daya manusia di seminari, baik menyangkut para staf pembina / pengajar maupun para seminaris sendiri, baik seminari memengah maupun seminari tinggi. Secara kongkrit misalnya lewat workshop / pelatihan jurnalistik, manajemen, leadership dll sesuai kebutuhan seminari. Mereka juga mengumpulkan dana untuk memberikan subsidi bagi peningkatan perpustakaan / komputer dll.
PGU saat ini dipimpin bapak Didik Dwinarmiyadi dan beralamat: PGU d/a. Pusdiklat KKG, Jl. Pamerah Selatan 21, Jakarta 10270, tel: 021-5483008 ex. 4052, fax: 021-53699015, E-mail: gembala2000@yahoo.com
Kelompok Semangat : Dari namanya kelompok ini jelas hanya mempunyai `semangat’, demikian papar Pak Paul Soetopo, pemimpin kelompok ini. Semangat kaum awam yang merasa diberkati Tuhan untuk mencoba menjadi berkat melalui pembinaan para calon imam di Indonesia. Kelompok Semangat bermula dari kurang lebih 12 orang dengan latar belakang pekerja bank di Indonesia yang bersama 2 rohaniwan mencoba membuat discernment mengenai `personal mission’mereka untuk secara kongkrit sesuai bakat, talenta, pekerjaan dan rahmat yang Tuhan berikan untuk membalas kasih Tuhan. Mereka secara ikhlas mengumpulkan dana dan menghimpunnya dalam sebuah `dana abadi’. Dari dana ini mereka memberikan bantuan secara khusus bagi pengadaan fasilitas, renovasi kecil-kecilan, program komputerisasi dll.
Kelompok Semangat percaya bahwa semangat yang sama ada juga di banyak hati mereka yang diberkati Tuhan secara khusus. Jika semangat-semangat itu tergabung, betapa kuatnya dan besar berkatnya. Kelompok Semangat menggunakan juga alamat Komisi Seminari KWI, Jl. Cut Meutia 10 Jakarta Pusat, seperti halnya Gotaus.
11. Sesudah membaca `apa ini apa itu’ tentang Seminari, apakah yang saya secara pribadi dapat lakukan?
Haha, pertanyaan yang bagus yang mestinya dijawab Anda sendiri. Namun, menjawab bersama juga bagus.
Pertama-tama: hening sejenak dan tanyailah dirimu: pernahkah engkau secara pribadi, dari diri sendiri berdoa bagi para calon imam? Bukan karena diajak, bukan karena disuruh siapapun, tapi dari dirimu sendiri? Jika belum, cobalah satu saat, mungkin saat ini juga, berdolah untuk panggilan imam…
Kedua: What can I do? Lihatlah apa yang secara kongkrit anda dapat lakukan: berdoa? Sudah. Nah, menjadi promotor panggilan: mengajak anak-anak / remaja menjadi calon imam? Menjadi donatur? Kalau belum berani setiap bulan sepanjang tahun, cobalah sekali dua kali saja… Mengajak orang lain menjadi donatur… Bergabung ke komisi panggilan paroki atau keuskupan… Bergabung ke Gotaus, PGU atau Kelompok Semangat… Dan, jika engkau merasakan mempunyai benih panggilan, jangan lupa dan jangan takut berdoa dan berserah: ini aku Tuhan, pakailah aku…
sumber : RM. Terry Penomban

Profil Singkat Seminari Menengah Nyarumkop ST. PAULUS

KEUSKUPAN AGUNG PONTIANAK

I. DATA UMUM
a. Nama lengkap Seminari : St. Paulus
b. Alamat lengkap Seminari : Nyarumkop, kecamatan Singkawang Timur
: Kotak Pos 105 Singkawang 79251
c. Telp : HP : 0812-570-6244
d. Alamat e-mail : ---


II. DATA ORGANISASI DAN PERSONALIA
1. Staf dan situasi khusus seminari.
a. Nama Rektor : R.P. Barnabas Meriko, OFMCap
b. Jumlah tenaga pembina : 6 orang
c. Status Seminari : Milik Keuskupan Agung Pontianak.

2. Data Siswa
Jumlah siswa seminari tahun ajaran ini : 2007-2008
Kelas I : 50 Siswa
Kelas II : 22 Siswa
kelas III : 28 Siswa
KPA : 18 Siswa
JUMLAH : 118 Siswa


III. VISI DAN MISI SEMINARI
Motto :
Sanctitas, Sanitas, Scientia, artinya: Hidup suci, bersih dan bijaksana merupakan semboyan seminaris.
Visi dan Misi :
Pembentukan manusia seutuhnya melalui pendidikan kristiani, dengan mengutamakan pembinaan/disiplin yang terpadu supaya para seminaris mampu menemukan diri, agar dapat berperan serta dalam pembangunan bangsa umumnya, khususnya pembangunan Gereja local Kalimantan Barat.
Dalam rangka menunjang pengembangan mutu pendidikan dan penerapan model pembelajaran yang berbasis TIK, SMA St Paulus Nyarumkop telah mempunyai ruang Multimedia, dimana ruangan ini adalah tempat riset dan penerapan untuk pengembangan media pembelajaran berbasis TIK.
Ruang multimedia
Ruang multimedia merupakan bantuan dari Pemerintah melalui Dikmenum. bantuan itu berupa sarana pengadaan komputer P IV untuk user sebanyak 10 buah, Komputer untuk server 1 buah dan untuk produski 1 buah. Bantuan ini diterima oleh sekolah pada akhir tahun 2007. namun mengingat kebutuhan dari jumlah siswa perkelas tidak memadai untuk satu komputer 1 siswa, maka oleh sekolah melalui persekolahan diadakan penambahan secara suadaya sebanyak 15 buah komputer, sehingga jumlah komputer untuk usernya sebanyak 25 buah.
Dan dalam pelaksanaan sehari-hari ruangan multimedia ini di gunakan oleh sekolah untuk tempat pelatihan bagi siswa, dan untuk guru memperdalam pengetahuan ilmu komputernya terutama untuk pengembangan bahan ajar multimedia.
Selain itu oleh anak (siswa-siswi) St Paulus , ruangan ini dijadikan wadah untuk mencari tugas dan referensi semua mata pelajaran, karena ruangan multimedia juga merupakan ruang internet.
Diharapkan dengan adanya ruang multimedia ini, siswa dan siswi SMA St Paulus tidak GABTEK Dan bisa menggunakan ruangan ini dengan maksimal dan positif. Ry
Sumber,
http://smastpaulusnyarumkop.wordpress.com/2008/10/08/alumni-ikut-memeriahkan-pesta-pelindung-persekolahan/