Senin, 10 Mei 2010

Apakah Seminari itu?

1. Apakah Seminari itu?
Kata seminari berasal dari kata Latin `semen’ yang berarti `benih atau bibit’. Seminari berasal dari kata Latin `seminarium’ yang berarti `tempat pembibitan, tempat pesemaian benih-benih’. Maka, seminari lalu berarti: sebuah tempat tepatnya sebuah sekolah yang bergabung dengan asrama: tempat belajar dan tempat tinggal] di mana benih-benih panggilan imam yang terdapat dalam diri anak-anak muda, disemaikan, secara khusus, untuk jangka waktu tertentu, dengan tatacara hidup dan pelajaran yang khas, dengan dukungan bantuan para staf pengajar dan pembina, yang biasanya terdiri dari para imam / biarawan. Adapun kata `seminaris’ menunjuk pada para siswa yang belajar di seminari tersebut.
Dari lintas sejarah gereja, kita mengenal seminari yang klasik, yakni serentak sebagai sebuah sekolah di mana para seminarisnya belajar di dalam kompleks seminari, entah sebagai sebuah SMP atau SMA dan sekaligus sebagai asrama di mana mereka tinggal dan hidup dari hari ke hari.
Namun, seiring perkembangan waktu, demi alasan praktis dan demi juga kehidupan masa remaja yang alamiah, maka ada seminari modern di mana para seminaris mengikuti pendidikan SMP atau SMAnya di sekolah lain di luar kompleks seminari, namun mereka tinggal di dalam seminari sebagai asrama dan mengikuti pelajaran pelajaran dan pembinaan khusus yang dibutuhkan oleh setiap calon imam.
2. Mengapa ada Seminari Menengah dan Seminari Tinggi?
Wah, bukan hanya seminari menengah dan tinggi saja, ada juga seminari `kelas persiapan atas’ bahkan ada juga seminari `Tahun Orientasi Rohani’. Apa maksudnya?
Seminari Menengah yang ada di Indonesia masih dibedakan lagi atas:
Seminari Menengah tingkat SMP yakni yang menerima para seminaris sesudah mereka menamatkan SD. Di sini mereka belajar selama 3 tahun, mengikuti kurikulum SMP pada umumnya, ditambah dengan beberapa materi pelajaran khas Seminari. Kita masih memiliki beberapa Seminari Menengah tingkat SMP, yakni di Tuke Keuskupan Denpasar, di Maumere untuk Keuskupan Agung Ende, di Kisol untuk Keuskupan Ruteng, di Saumlaki untuk Keuskupan Ambon, dan nanti di Aimas untuk Keuskupan Sorong.
Seminari Menengah untuk tingkat SMA adalah yang paling umum di Indonesia. Para siswa diterima sesudah mereka menamatkan SMP. Di sini mereka mengikuti 3 tahun pendidikan memenuhi kurikulum pemerintah plus kurikulum Seminari, sekaligus dengan tambahan 1 tahun, entah pada tahun pertama memasuki Seminari [disebut KPB: Kelas Persiapan bawah] atau nanti ditambahkan sesudah melewatkan 3 tahun pendidikan SMAnya [disebut KPA: kelas persiapan akhir].
Seminari Menengah KPA [Kelas Persiapan Atas] adalah sebuah seminari yang melayani mereka yang disebut mengalami `panggilan terlambat’, artinya yang memutuskan menjadi calon imam sesudah menamatkan SMA, bahkan sementara atau sesudah kuliah ataupun bekerja. Mereka mengikuti pembinaan khusus minimal selama 1 tahun dan berdasarkan kebutuhan ada yang sampai 2 tahun.
Seminari Tahun Orientasi Rohani [TOR] adalah sebuah tempat pembinaan khusus benih-benih panggilan bagi mereka yang telah menamatkan Seminari Menengah tingkat SMU atau Seminari Menengah KPA, dan yang memilih menjadi calon imam diosesan atau imam praja. Selama setahun mereka mengalami pembinaan khusus di bidang kepribadian dan kerohanian sekaligus untuk lebih mengenal dan menghayati seluk beluk imam diosesan.
Seminari Tinggi adalah jenjang pembinaan terakhir dari para calon imam sesudah mereka mengikuti Seminari Tahun Orientasi Rohani. Biasanya pendidikan yang ditempuh di sini selama 6 tahun kuliah ditambah 1 tahun praktek Tahun Orientasi Pastoral.
Di Indonesia terdapat 31 Seminari Menengah, 3 KPA, 12 TOR dan 13 Seminari Tinggi.
3. Jadi berapa tahun dibutuhkan untuk menjadi imam?
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat SMP, maka ia memerlukan: 3 tahun seminari menengah tingkat SMP, 3 tahun seminari menengah tingkat SMU, 1 tahun seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 14 tahun.
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat SMU maka ia memerlukan: 4 tahun Seminari Menengah tingkat SMU, 1 tahun seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 12 tahun.
Jika calon imam ini mulai masuk Seminari Menengah tingkat KPA maka ia memerlukan minimal: 1 tahun Seminari Menengah tingkat KPA, 1 tahun Seminari TOR dan 7 tahun Seminari Tinggi: totalnya 9 tahun.
Hukum Gereja memberikan kemungkinan bagi mereka yang mau menjadi imam sesudah mengikuti pendidikan akademis yang memadai untuk tidak mengikuti seluruh tuntutan pembinaan mulai dari Seminari Menengah KPA, TOR dan Seminari Tinggi. Uskup dapat memberi dispensasi -sesudah penyelidikan yang matang- untuk mengikuti pendidikan filsafat dan teologi saja, bahkan juga untuk tidak tinggal di seminari sebagaimana lazimnya.
4. Apa saja yang dipelajari di masing-masing tingkatan Seminari tadi?
Secara umum materi yang diprogramkan pemerintah untuk setiap jenjang pendidikan harus dipelajari oleh para seminaris sesuai tingkat masing-masing, entah SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Adapun materi binaan tambahan pada umumnya adalah: Pengetahuan Agama Katolik, Sejarah Gereja, Kitab Suci, Liturgi, Kepribadian, Etiket / Pergaulan, Psikologi Perkembangan, Public Speaking, tambahan bahasa Indonesia, bahasa Inggris, bahasa Latin dan bahasa pilihan lainnya, Musik / Kesenian Gereja, Kebudayaan, Pastoral, Katekese, Hidup Berkomunitas, Panggilan dan Motivasi, Bina Kepribadian, Bimbingan Rohani, dll.
Jadi di sela-sela mengikuti kurikulum pemerintah, para seminaris harus menyisihkan waktu untuk memenuhi kurikulum seminari.
Pendidikan di seminari semuanya diterapkan dengan disiplin yang prima, sekaligus tidak kaku dan mematikan, tetap menghormati hak asasi manusia, demokratis dan kristiani.
Seluruh pembinaan di Seminari tidak lepas dari 4 kerangka dasar ini yakni membantu peningkatan pemberdayaan dan kemampuan tiap seminaris dalam bidang: kemanusiaan / kepribadiannya, akademi / intelektualnya, kerohanian / spiritualitasnya dan kecakapan serta keterampilan berpastoral.
5. Khusus untuk seminari menengah, apakah anak-anak tidak terlalu kecil untuk dapat memutuskan bahwa ia ingin menjadi seorang imam? Apakah anak bukan korban keinginan orang tua? Jika demikian, apakah dapat disebut sebagai panggilan?
Ketika Seorang Imam di Keuskupan Agung Pontianak mewawancarai seorang siswa seminaris tingkat SMA di Seminari St Paulus Nyarumkop , Kalimantan Barat, ia mendapat jawaban ini dari seorang seminaris: Saya ingin sekali sejak usia dini memberikan diri dan cita-cita saya pada imamat. Anak ayam pun masih kecil tetapi ia sudah mulai mencari makanannya sendiri demi masa depannya.
Jawaban polos ini dapat menjelaskan mengapa seminari menengah itu perlu dan penting. Ini juga bukti bahwa panggilan Tuhan mulai terasa pada jenjang usia manapun dan tugas Gereja memberi tempat pada panggilan itu. Manfaat lain dari pendidikan dini ini ialah: motivasi panggilan bisa menjadi lebih kuat, pengenalan akan imamat bisa lebih lama dan mendalam, budaya belajar dan hidup rohani bisa lebih terbina lewat rentang waktu yang lama dan berkontinuitas.
Namun tak dapat disangkal bahwa ada juga catatan kritisnya, yakni anak-anak terlalu cepat dipisahkan dari keakraban keluarga dan dari pergaulan yang alamiah dengan sesama anak remaja puteri, hal mana bisa mengakibatkan ketidakmatangan afeksi mereka di kemudian hari. Adalah tanggung jawab, peran dan tugas gereja dalam hal ini staf seminari untuk menangkal bahaya negatif, sekaligus meningkatkan manfaat positif yang ada.
Untuk itulah peranan pembimbing rohani pribadi di seminari sangatlah penting, demikian juga peranan para staf pembina, baik rektor maupun sesama imam lainnnya. Mereka bertugas memurnikan motivasi panggilan para seminaris, membantu mereka menolong dirinya sendiri untuk keluar dari kekurangan yang ada, menolong mereka untuk tiba pada keputusan yang matang dan sendiri mengambil keputusan untuk menjadi imam atau tidak. Peran tak tergantikan tetaplah pada anak itu sendiri dalam penentuan akhir sehingga ia dengan bebas dan tanpa paksaan orang tua / paroki ataupun staf mengambil kata akhir dalam terang dan tuntunan Roh Kudus. Panggilan adalah anugerah dari Tuhan maka tidak dapat dipaksakan oleh manusia.
6. Mengapa seminaris harus tinggal di seminari?
Namanya saja `seminaris’ jadi harus berada di `seminarium’ di sebuah tempat pesemaian yang khusus. Dengan demikian ia didampingi dan dikembangkan dalam satu kelompok bibit unggul dengan materi dan sistem pengembangan yang khusus. Suasana seminari menjadi semacam sebuah `paroki atau keuskupan kecil’ dalam arti sang pemimpin umat ini mulai menghidupi sebuah hidup bersama antar pelbagai suku / etnis, kepribadian dan tabiat berbeda: mereka belajar bersosialisasi dan berkomunitas. Di seminari mereka berlatih melayani dan memimpin lewat pelbagai latihan kepribadian dan praktek kerja dan karya serta organisasi. Di seminari mereka belajar bekerjasama, mengembangkan diri, bakat dan talenta demi kepentingan umum, penuh solidaritas dan disiplin serta belas kasih. Di seminari mereka belajar taat dan hormat kepada pimpinannya sekaligus kepada Gereja semesta dan Tuhan sendiri. Di seminari mereka belajar berdoa secara intens, berlatih memimpin doa, ibadah, dll.
Mengingat tujuan hidupnya yang sangat khas maka mereka juga membutuhkan suasana dan sarana bina diri yang lebih menyiapkan mereka untuk memasuki gelanggang pengabdiannya sesiap mungkin, jiwa dan raga, rohani dan jasmani, semangat dan daya. Kendati mereka tinggal di seminari namun mereka tidak asing terhadap dunia dan keluarga. Tersedia waktu dan kesempatan untuk itu. Di seminari, bina diri mereka menjadi komplit dan prima. Bagaimana mungkin seorang belajar renang di ruang kelas saja tanpa terjun ke kolam renang?
7. Panggilan sangat berkurang, apa yang dilakukan Gereja untuk menjaring seminaris?
Pertama, jangan takut dan jangan bingung. Yesus memberi nasehat: berdoalah kepada yang empunya panenan. Maka, Gereja, lewat Komisi Seminari KWI, juga mestinya lewat setiap keuskupan, menghimbau umat untuk terus menerus berdoa bagi adanya benih panggilan imam. Yesus yang menyuruhnya dan Bapa akan mendengarkannya.
Kedua: Perlulah di tiap keuskupan ada gerakan atau komisi promosi panggilan sebagai Komisi Seminari atau Panggilan. Mereka perlu secara teratur, sistematis merencanakan pelbagai bentuk aksi panggilan dengan program yang menarik, materi yang up to date serta bahan yang menyentuh. Bersatulah para biarawan / biarawati dan para imam di keuskupan dan buatlah promosi panggilan bersama.
Ketiga: Perhatikanlah, dekatilah dan gerakkanlah sumber-sumber panggilan. Mulai dari keluarga-keluarga: orang tua harus berani menawarkan kepada anaknya keindahan dan kemuliaan mengikuti jejak Kristus sebagai imam. Sekolah-sekolah baik Katolik maupun non-Katolik adalah lumbung calon panggilan: mereka perlu mendengar tentang heroisme dan hidup penuh bakti para imam. Siapa yang akan menggemakannya di sekolah-sekolah mereka? Organisasi-organisasi anak-anak dan remaja seperti: misdinar, Sekami, Biak, Rekat, Bina Iman Remaja, Legio Mariae Yunior, ini semua adalah kantong-kantong panggilan yang perlu disapa.
Keempat: Anak dan remaja masa kini lebih banyak terfokus pada tokoh-tokoh atau figur-figur duniawi dengan kriteria penilaian bermotif uang, senang, kepuasan, popularitas, mudah dan murah. Gereja perlu menampilkan dan menawarkan figur-figur imam yang berbahagia dalam imamatnya: kesaksian dalam hidup miskin demi orang lain, keteladanan dalam hidup saleh dan kesucian moral, kebahagiaan dalam hidup penuh pengorbanan, sosial dan solider. Anak dan remaja membutuhkan contoh dan teladan dengan nilai-nilai yang mulia: pengurbanan, pemberian diri, pengabdian, kepentingan dan kesejahteraan orang lain.
Kelima: bangunlah persaudaraan dan persahabatan yang akrab dan personal dengan anak dan remaja. Biarlah mereka mengalami pribadi seorang imam, seorang yang terpanggil itu secara dekat dan jujur apa adanya. Rangkullah mereka dalam pelbagai kegiatan pastoral paroki yang cocok untu jiwa dan usia mereka.
Terakhir: berhentilah meminta pastor, mulailah memberikan calon imam. Mungkin dirimu sendiri, mungkin anakmu, keponakanmu, kenalanmu. Bantulah setiap upaya mendapatkan benih panggilan dan bantulah pengembangannya di seminari atas pelbagai cara: dengan dukungan doa, derma dan kesaksian serta ajakanmu.
8. Apakah bersekolah di seminari itu `gratis’? Siapa yang memberi makan para seminaris? Bagaimana dengan seminaris dari keluarga yang kurang mampu?
Seminari sebagai sebuah sekolah dan asrama pasti membutuhkan dana. Sampai 10 tahun lalu seminari kita banyak mendapat bantuan dari donatur di luar negeri. Saat ini banyak yang sudah meninggal dan kebiasaan memberikan bantuan ini tidak diwariskan pada anak-anak mereka sehingga dengan meninggalnya para donatur, langsung menipis jugalah derma dari luar negeri. Karena itu pihak keuskupan mengalami kesulitan dalam membiayai seminari, maka mau tidak mau biaya di seminari harus juga dibantu oleh pihak keluarga. Sebagaimana anak-anak ini jika hidup dalam keluarga toh membutuhkan biaya dan dana maka begitu juga di seminari. Keluarga harus membayar uang sekolah dan uang asrama [rasanya belum ada Seminari yang mewajibkan pembayaran uang masuk sebagaimana ke SMP atau SMU lainnya]. Hal ini dibutuhkan karena para seminaris perlu makan minum 3 kali sehari, membutuhkan asrama / tempat tinggal yang layak dengan penerangan listrik, pemeliharaan gedung termasuk pembayaran tenaga guru / karyawan-karyawati.
Keuskupan dan keluarga yang mempunyai anaknya di seminari, bersama keluarga-keluarga yang murah hati lainnya, kiranya senantiasa bekerjasama agar tersedia cukup makanan dan minuman bergizi bagi para calon imam kita, agar cukup penerangan listrik, pelayanan kesehatan dll. Agar para guru dan karyawan dapat dibayar secara pantas dan tidak di bawah batas kewajaran. Setiap orang Katolik bertanggung jawab atas terlaksananya pembinaan di seminari, pesan Sri Paus Yohanes Paulus II.
Adapun dari data seminari menengah Indonesia, biaya hidup di seminari bervariasi; yang paling murah adalah sebesar Rp 100.000,- sebulan untuk biaya asrama dan sekolah. Dan yang paling tinggi adalah Rp. 350.000,- sebulan bagi keluarga yang mampu. Data yang ada melaporkan bahwa tidak semua seminaris dapat membayar biaya ini setiap bulannya dan ini tentu menyulitkan seminari dan keuskupan sendiri.
Bagi yang kurang mampu, pihak seminari memberikan kemungkinan biaya yang lebih murah, sambil mengingat pesan Paus Yohanes Paulus II bahwa tiada seorang pun dapat disuruh pulang dari seminari hanya karena tidak mampu membayar biaya seminari. Selain itu, ada paroki yang berinisiatif membantu memberikan dana tambahan bagi putra parokinya yang mengalami kesulitan finansial. Untuk tingkat nasional, Komisi Seminari KWI bekerjasama dengan GOTAUS: Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminari, mencari donatur-donatur dari kalangan umat untuk memberikan bantuan bagi anak-anak yang tidak mampu, secara berkala, sebulan sebesar Rp. 50.000,- saja.
9. Bagaimana mengatasi kesulitan dana di Seminari?
Ada pelbagai usaha yang diupayakan oleh pihak seminari, paroki dan keuskupan.
Pihak seminari dapat berupaya melalui penghematan. Juga melalui usaha-usaha swasembada seperti menanam sayur mayur, berkebun, memelihara ternak; sebagai kegiatan ekstrakurikuler dapat mengupayakan kerajinan tangan / ketrampilan berupa pembuatan rosario, lilin, usaha sablon, pembuatan patung / religious articles, toko buku, wartel; juga penampilan koor, ensembel musik, orkes, drumband yang sewaktu-waktu bisa mendapatkan dana.
Pihak paroki: dapat menjadi donatur pertama bagi seminaris putra paroki maupun boleh menawarkan diri untuk menanggung beberapa anak dari paroki lain sekalipun yang membutuhkan dukungan dana. Selalu ada umat yang sangat murah hati dan siap membantu andaikata mereka tahu dengan jelas. Ada umat yang secara rutin mengirimkan beras, minyak goreng dan kebutuhan lainnya. Pihak paroki dapat mengundang para seminaris setahun sekali merayakan misa di parokinya selain sebagai promosi panggilan juga untuk mengetuk rasa tanggung jawab umat dalam ikut membantu pembinaan imam yang akan mengabdi mereka nantinya.
Keuskupan: sebuah gerakan bersama dan teratur kiranya dibutuhkan dalam bentuk komisi seminari / panggilan tingkat keuskupan. Mereka membantu uskup memikirkan kebutuhan seminari sekaligus membantu staf seminari agar para staf dapat lebih terfokus pada pembinaan calon imam dan bukan pada upaya pencarian dana sehingga anak-anak dan pembinaan dikorbankan. Mereka bisa merintis terbentuknya Gotaus tingkat keuskupan.
Terlalu berat bagi seorang rektor untuk memikirkan pembinaan seminaris sementara masih harus mengurus pembelian semen, dana perpustakaan, pencarian uang untuk pembayaran hutang di RS / puskesmas, peningkatan kesejahteraan guru agar mereka tidak lari dan pindah mengajar ke sekolah lain yang bisa membayar lebih tinggi. Keuskupan dapat juga menentukan sebuah hari minggu khusus untuk berdoa dan berderma bagi seminari di seluruh keuskupan. Bahkan meminta umat memberikan derma khusus atau kolekte ke-2 sekali dalam sebulan.
10. Apakah yang dimaksud dengan Mitra Komisi Seminari KWI yang sering disebut-sebut sebagai Gotaus, PGU dan Kelompok Semangat?
Ya, ada 3 kelompok yang bekerja sangat baik dan menjadi mitra artinya rekan sekerja Komisi Seminari KWI, yang keberadaannya diakui dan diterima baik oleh Konferensi Waligereja Indonesia.
GOTAUS : adalah sekelompok kaum awam dari Keuskupan Agung Jakarta yang merasa ikut bertanggung jawab dan perlu membantu berlangsungnya pendidikan di Seminari dengan menghimpunkan diri dalam sebuah Gerakan Orang Tua Asuh untuk Seminaris. Terdorong oleh keprihatinan dan rasa ikut bertanggung jawab, mereka mengajak makin banyak orang / keluarga untuk berperan serta. Caranya ialah dengan mendoakan panggilan calon imam kemudian sebulan sekali memberikan donasi sebesar Rp. 50.000,- untuk satu seminaris.
Saat ini ada 4.105 siswa seminari menengah dan 1.860 yang harus dibantu oleh Gotaus. Adapun jumlah donatur tetap Gotaus saat ini 480 sedangkan donatur tidak tetap [artinya sewaktu-waktu atau pernah 1 kali memberi sumbangan] sebanyak 578. Jumlah donatur tetap memang masih terlalu kecil dan masih ada banyak orang yang mampu menjadi donatur tetap.
Sekretariat Gotaus berada di Komisi Seminari KWI, Jl. Cut Meutia 10, nomor telpon: 021-9226756, fax: 021-31907046, email: komsem@kawali.org. Adapun nomor rekeningnya: BCA KCP Central Cikini, 878.0109891, an Rm. Terry Ponomban / ML Yenny Widowati; Bank Niaga Jkt, 022-01-00303-11-0, an Rm Terry Ponomban; Bank Danamon Cab Kebon Sirih, Primadollar no. 36730893, an. Rm Terry Ponomban / ML Yenny Widowati.
Gotaus ini dipimpin oleh seorang awam yakni Bpk. H.Y. Susmanto dan Rm. Terry Ponomban sebagai sekretaris ex officio.
PGU : adalah singkatan dari Paguyuban Gembala Utama yang bermula dari perkumpulan para ex-seminari dari Seminari Mertoyudan KA Semarang. Mereka berkumpul dan bernostalgia lalu tergerak untuk berbuat sesuatu bagi alma maternya. Maka dengan cepat jumlah anggota bertambah dan berkembang dan mereka mulai membantu bukan hanya alma maternya sendiri tetapi juga seminari-seminari lain di pulau Jawa bahkan lebih nasional lagi ke seluruh Indonesia. Maka anggotanya pun makin `nasional’ dan mereka lebih memantapkan diri dalam Paguyuban Gembala Utama dan senantiasa terbuka kepada setiap alumni seminari manapun untuk bergabung.
PGU memberikan bantuan khusus bagi pembinaan sumber daya manusia di seminari, baik menyangkut para staf pembina / pengajar maupun para seminaris sendiri, baik seminari memengah maupun seminari tinggi. Secara kongkrit misalnya lewat workshop / pelatihan jurnalistik, manajemen, leadership dll sesuai kebutuhan seminari. Mereka juga mengumpulkan dana untuk memberikan subsidi bagi peningkatan perpustakaan / komputer dll.
PGU saat ini dipimpin bapak Didik Dwinarmiyadi dan beralamat: PGU d/a. Pusdiklat KKG, Jl. Pamerah Selatan 21, Jakarta 10270, tel: 021-5483008 ex. 4052, fax: 021-53699015, E-mail: gembala2000@yahoo.com
Kelompok Semangat : Dari namanya kelompok ini jelas hanya mempunyai `semangat’, demikian papar Pak Paul Soetopo, pemimpin kelompok ini. Semangat kaum awam yang merasa diberkati Tuhan untuk mencoba menjadi berkat melalui pembinaan para calon imam di Indonesia. Kelompok Semangat bermula dari kurang lebih 12 orang dengan latar belakang pekerja bank di Indonesia yang bersama 2 rohaniwan mencoba membuat discernment mengenai `personal mission’mereka untuk secara kongkrit sesuai bakat, talenta, pekerjaan dan rahmat yang Tuhan berikan untuk membalas kasih Tuhan. Mereka secara ikhlas mengumpulkan dana dan menghimpunnya dalam sebuah `dana abadi’. Dari dana ini mereka memberikan bantuan secara khusus bagi pengadaan fasilitas, renovasi kecil-kecilan, program komputerisasi dll.
Kelompok Semangat percaya bahwa semangat yang sama ada juga di banyak hati mereka yang diberkati Tuhan secara khusus. Jika semangat-semangat itu tergabung, betapa kuatnya dan besar berkatnya. Kelompok Semangat menggunakan juga alamat Komisi Seminari KWI, Jl. Cut Meutia 10 Jakarta Pusat, seperti halnya Gotaus.
11. Sesudah membaca `apa ini apa itu’ tentang Seminari, apakah yang saya secara pribadi dapat lakukan?
Haha, pertanyaan yang bagus yang mestinya dijawab Anda sendiri. Namun, menjawab bersama juga bagus.
Pertama-tama: hening sejenak dan tanyailah dirimu: pernahkah engkau secara pribadi, dari diri sendiri berdoa bagi para calon imam? Bukan karena diajak, bukan karena disuruh siapapun, tapi dari dirimu sendiri? Jika belum, cobalah satu saat, mungkin saat ini juga, berdolah untuk panggilan imam…
Kedua: What can I do? Lihatlah apa yang secara kongkrit anda dapat lakukan: berdoa? Sudah. Nah, menjadi promotor panggilan: mengajak anak-anak / remaja menjadi calon imam? Menjadi donatur? Kalau belum berani setiap bulan sepanjang tahun, cobalah sekali dua kali saja… Mengajak orang lain menjadi donatur… Bergabung ke komisi panggilan paroki atau keuskupan… Bergabung ke Gotaus, PGU atau Kelompok Semangat… Dan, jika engkau merasakan mempunyai benih panggilan, jangan lupa dan jangan takut berdoa dan berserah: ini aku Tuhan, pakailah aku…
sumber : RM. Terry Penomban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar